Titik Nol
Aku pena diantara jemarimu
Aku akan menulis apa yang kau katakanÂ
Termasuk ungkapan hati yang paling dalam dari seorang tuan
Aku tau perasaanmu sedang kelabu
Menyatulah denganku dan ungkapkan asamu
Mimpi itu masih abstrak sebelum direalisasikan, pagi ini kulangkahkan kaki, kutabahkan hati meninggalkan ibu tercinta, meninggalkan kampung halaman untuk menimba ilmu di kota impian, yaa dulu saat aku menimba ilmu di sekolah menengah, ibuku selalu bercerita padaku tentang sebuah kota di mana terdapat perguruan tinggi Islam negeri terbaik di negeri ini. Karena cerita ibulah diam diam aku melukis mimpi-mimpi besar dan anganku untuk bisa belajar di tempat itu.
Baru kusadari ternyata putri kecilmu ini sudah beranjak dewasa, sudah saatnya aku mengenal tentang kehidupan selain rumah dan sekolah. Terdapat pesan tersirat dari ibu seakan akan ibu berkata "nak, dunia ini luas dan tak terbatas, jelajahilah selagi kamu masih muda, tuntutlah ilmu setinggi tingginya". Kubulatkan lagi tekadku untuk pergi merantau, kuberi motivasi secara terus menerus kepada diri ini bahwa hidup itu perjuangan, karena berani berjuang berarti berani membawa perubahan, maka aku harus berani merubah kehidupanku menjadi lebih baik.
"Ibu, Bapak, aku berangkat ya, doakan semoga diberi kelancaran dalam perjalanannku" Dengan logat bahasa jawa, ibu baakku melepaskanku dengan penuh keikhlasan, ini merupakan pertama kalinya ketika dewasa aku dicium pipi kanan dan kiriku, dalam hatiku berkata "Ibu, maafkan putrimu ini, melihat wajahmu yang terlihat renta membuatku berat meninggalkanmu ibu".Â
"Sudah nduk, semoga perjalannnya lancar, diberi kemudahan dalam menuntut ilmunya", ujar ibuku dengan nada lembutnyaÂ
Ku gendong ransel merahku, sementara bapakku sudah siap sedia diatad motor tua warna merah yaitu satu satunya kendaraan keluargaku, bapakku sudah siap mengantarkanku ke terminal. Jarak rumahku ke terminal lumayan jauh, memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke terminal. Aku berangkat bersama teman-teman naik angkutan umum, mandiri pastinya, karena tuntutan kita menjadi bisa, ibu bapakku adalah seorang petani, bekerja kesana kemari hanya mengendarai motor tuanya, tak ada mobil yang teduh seperti para pejabat dikeluargaku, keluarga sederhana dengan segudang cita-cita, aku menahan buliran air mata yang ingin menetes sembari melambaikan tangan kepada bapakku. Bapakku adalah teladan terbaikku, tidak pernah mengeluh capej atau sakit. Bapakku adalah sosok yang sangat berwibawa. Beliau melepaskanku dan berkata "hati-hati nduk"
Dalam hatiku berkata "Maaf dan terimakasih pak sudah mengantrkanku jauh-jauh dari pelosok desa samai ke terminal kota, semoga diberi kesempatab untuk membalas kebaikanmu pak"
Bapak dan ibuku sangat luar biasa, walaupun berasal dari keluarga yang memiliki kelas ekonomi kebawah, tetapi untuk masaah menuntut ilmu beliau akan mengupayakan segala cara supaya anak anaknya dapat menuntut ilmu setinggi tingginya. Hidup tidaklah mudah, terlalu banyak aral dan rintangan yang harus kita hadapi.
Tibalah aku dan rombongan di kota impianku MALANG, kota pendidikan dimana ditengah tengah kota berdiri megah sebuah kampus Islam. Sebentar agi mimpiku mulai terealisasikan. Hari hariku kulewati dengan penuh senyuman. Sepatu baru, ransel baru dn buku yang selalu menemani kemanapun kaki melangkah. Aku merasakan keajaiban dihidupku, dan ini berkat udaha dan doa dari kedua orang tuaku, doa seorang ibu yang mengetuk langit. Tuhan memberiku semua yang aku butuhkan, aku mendapat IP yang bagus, mendapat beasiswa serta diberi lingkungan yang baik sehingga aku bisa semakin produktif. Semuanya karena cinta, keyakinan, usaha dan doa. Jangan berhenti sampai disini, dan jangan talut membangun mimpi.
Ponorogo, 17 mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H