Oleh:
Rossi Rahardjo
Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk dalam bukunya menyebutkan, globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju (Convergency).[1]
Dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya. Namun bagaimanapun tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari Badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan World Bank.
Salah satu bidang hukum ekonomi yang mengalami revisi adalah hukum kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam bidang hukum ekonomi terdapat pengaruh-pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.
Perkembangan hukum positif di Indonesia senantiasa sarat dengan terjadinya proses impor sistem hukum sejak zaman penjajahan, kemerdekaan, hingga era globalisasi yang terjadi saat ini. Setidaknya ditandai oleh berkembangnya tradisi hukum Eropa di Indonesia sampai saat ini. Sementara tumbuh desakan untuk mengakomodasi nilai dan norma-norma lokal maupun pengaruh hukum yang berkarakter common law (Anglo- American Law) tidak dapat dinafikkan.
Saat ini di dunia berkembang lima sistem hukum yaitu:
1. Civil Law System
2. Common Law System
3. Islamic Law
4. Socialisme Law
5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat.
Ketentuan pembagian sistem hukum yang hampir sama dikemukakan oleh Ediwarman yang menyebutkan klasifikasi sistem hukum di dunia atau keluarga hukum (legal families) yang terdiri atas:
1. Sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin (civil law system)
2. Sistem Anglo – American (common law system)
3. Sistem Timur Tengah (mid east system).
4. Sistem Timur Jauh (far east system).
5. Sistem Negara-negara Sosialis (socialist law system).
Sebagai salah satu negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum civil law country, maka hukum kepailitan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum civil law country. Bila ditelusuri dari akar sejarahnya, hukum kepailitan Indonesia sesungguhnya sama dengan hukum kepailitan Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.
Pada awalnya hukum kepailitan di Indonesia di atur dalam Faillissements Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb. 1906 No. 348 yang terdiri atas:
Bab I : Tentang Kepailitan pada umumnya
Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Namun dengan berlakunya Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka FV menjadi tidak berlaku lagi. UU No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat UUK) sendiri terdiri atas :
Bab I: Tentang Kepailitan (pasal 1 s/d 211)
Bab II: Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (pasal 212 s/d 279 )
Bab III : Tentang Pengadilan Niaga (pasal 280 s/d 289).
Di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam kelompok negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, hukum kepailitan diatur dalam Bankruptcy Code.
Kemudian kongres di Amerika Serikat membuat Undang Undang pertama tentang kebangkrutan pada tahun 1800 yang isinya mirip-mirip dengan Undang Undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama dalam abad ke 18, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah ada Undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitur dari hukuman penjara karena tidak membayar hutang yang disebut dengan insolvency law.
Selanjutnya Undang Undang Federal Amerika Serikat tahun 1800 tersebut diubah beberapa kali, masing-masing pada tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (The Candhler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai tahun 1867, tidak terdapat sama sekali Undang-undang mengenai kebangrutan, sebab Undang Undang lama telah dicabut sedangkan Undang Undang pengganti baru terbentuk pada tahun 1867. [2]
Perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia dan Amerika Serikat
Perkembangan hukum ekonomi di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dipengaruhi perkembangan globalisasi perekonomian. Dari sisi hukum, perkembangan hukum ekonomi ini memunculkan transplantasi di bidang hukum, yitu perpindahan dari suatu aturan atau sistem hukum dari satu negara ke negara lain.
Dari sejarah perkembangan hukum di Indonesia, diketahui bahwa transplantasi hukum di Indonesia terjadi sejak zaman kolonial dan berkembang pesat pada era globalisasi. Di bidang hukum kepailitan, pemerintah kolonial Belanda dengan asas konkordansi memberlakukan Failissemenst Verordening terhadap golongan Eropa berdasarkan Pasal 131 IS Jo. 163 IS. Berlakunya hukum kepailitan ini ternyata juga dalam praktiknya diberlakukan terhadap golongan bumi putera.
Sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia hukum kepailitan selanjutnya diganti oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang tidak lepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut.
Apabila diperhatikan, sejarah hukum kepailitan ini diketahui terjadi perubahan dari hukum kepailitan yang lama (faillisement verordening) yang bercirikan Sistem Eropa Kontinental ke arah Sistem Hukum Anglo Saxon. Di sini terjadi proses tranplantasi hukum.
Uraian selanjutnya dalam tulisan ini akan mencoba untuk membandingkan hukum kepailitan di Indonesia yang semula bercirikan Eropa Kontinental Sistem dengan Sistem Hukum Anglo Saxon.
Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi[3]. Kata bankrut yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt, berasal dari Undang Undang di Italia yang disebut dengan banca rupta.
Tahun 1852 merupkan tonggak sejarah bagi negara-negara dengan tradisi hukum common law yang berasal dari Inggris Raya. Hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi oleh Inggris dengan diundang-undangkannya kepailitan oleh parlemen di masa pemerintahan Raja Henry VIII sebagai Undang Undang yang disebut dengan Act Against Suuch Persons As Do Make Bankrupt.[4]
Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitur nakal yang ngemplang hutang sambil menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditur yang tidak dimiliki oleh kreditur secara individual.
Peraturan di masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak yang mengatur tentang larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau apa yang sekarang populer dengan sebutan actio pauliana. Di samping itu, dalam Undang-undang lama di Inggris tersebut juga di atur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut :
1.Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part unknown);
2.Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle;
3.Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum moderen;
4.Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut.
Sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuatan untuk membentuk suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan. Perdebatan ini sudah dimulai sejak diadakannya Constitutional Convetion di Philadelphia pada tahun 1787.
Kemudian kongres di Amerika Serikat membuat Undang Undang pertama tentang kebangkrutan pada tahun 1800 yang isinya mirip-mirip dengan Undang Undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama dalam abad ke 18, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah ada Undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitur dari hukuman penjara karena tidak membayar hutang yang disebut dengan insolvency law.
Selanjutnya Undang Undang Federal Amerika Serikat tahun 1800 tersebut diubah beberapa kali, masing-masing pada tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (The Candhler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai tahun 1867, tidak terdapat sama sekali Undang-undang mengenai kebangrutan, sebab Undang Undang lama telah dicabut sedangkan Undang Undang pengganti baru terbentuk pada tahun 1867.
Dari latar belakang sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat tersebut dapat disimpulkan bahwa the whole idea of finding a deep structure in complicated, historic artifact such as the Bankruptcy Code was doomed from the start. Considering the tens of thousands of congressmen, judges and lawyers who have contributed to the content of bankrupty law, it would have been a miracle if all of them were driven by the same ethical impulse every time a legislative decision was made. Legal text are situated in history, and just as historical explanation is infinitely complex, so should we expect juriprudential explanations to be infinitely complex, based om entropy, anomie, conflict, and confusion, as well as the dictates of logic and reason.[5]
Perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan Econit Advisory Group yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan tahun ketidakpastian (a year of uncertainty). Sementara tahun 1998 merupakan tahun koreksi (a year of correction).
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar Amerika dari sekitar Rp. 2.300 pada bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5.000 per dollar Amerika pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000 per dollar Amerika.
Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 persen telah terkontraksi menjadi minus 13-14 persen. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 persen menjadi sekitar 70 persen. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditur dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (pailit).
Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar Amerika, mengakibatkan munculnya negative balance of payment, negative spread, dan negative equity terhadap perekonomian Indonesia.[6]
Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat “bonanza” dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati.
Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga.
Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas.
Kondisi di atas mengakibatkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang diancam kebangkrutan karena kondisi perekonomian nasional dan ketidakmampuan untuk membayar utang-utang perusahaan yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk dollar Amerika.
Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah utang piutang ini secara cepat, efektif, efisien dan adil. Undang-undang kepailitan yang lama dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang piutang mereka secara cepat, efektif, efisien dan adil.
Hal ini disebabkan bahwa hukum kepailitan yang selama ini berlaku Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb 1906 No. 348 merupakan hukum kepailitan warisan pemerintah kolonial Belanda yang diciptakan sesuai dengan kondisi perekonomian pada masa itu.
Bagi yang pertama sekali mempelajari perbandingan hukum, timbul pertanyaan apakah perbandingan hukum itu merupakan metode ataukah ilmu. Bila perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmiah, kiranya saat ini belum mendapat banyak dukungan.
Dalam Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan with of Susshil Kumar disebutkan bahwa it is self that comparative law is not subject, but a method.[7] Terdapat berbagai istilah dalam perbandingan hukum perbandingan hukum yaitu :
1. Comparative Law
Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya.
2. Foreign Law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.
3. Comparative Jurisprudence
Adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum.
Terdapat perbedaan antara pengadilan niaga di negara-negara civil law dengan common law. Joseph Dainow menyebutkan However, in order to understand the two system properly, there are disparities which must be recognized and evaluated. For more specific identification of ideas, it is useful to consider five points of reference : the training and recruitment of judges, the method of arriving at decisions, the personalization of opinions or the colegiality of judgements, the manner of writing opinions, and the atitude of the judge in case of silence and insufficiency of the written or established law.[8]
Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya hutang piutang antara debitur dan kreditur. Permasalahan baru muncul apabila debitur berhenti membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar maupun karena tidak mampu membayar. Sebenarnya bila terjadi keadaan seperti itu terdapat beberapa usaha untuk menyelesaikan utang piutang tersebut, antara lain dengan:[9]
1. Perdamaian di luar pengadilan;
2. Perdamaian di dalam pengadilan;
3. Gugatan melalui pengadilan;
4. Ditagih individual;
5. Penundaan pembayaran;
6. Perdamaian penundaan pembayaran;
7. kepailitan;
8. perdamaian dalam kepailitan.
Bila dalam hukum kepailitan di Amerika Serkat dikenal adanya reorganization perusahaan yang diatur dalam Chapter 11, maka hal ini tidak dikenal dalam hukum kepailitan di Indonesia. Bila diteliti lebih jauh tentang hukum kepailitan di Indonesia yang tidak mengatur tentang adanya kemungkinan untuk melakukan reorganisasi perusahaan, sesungguhnya lembaga reorganisasai perusahaan ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Suspension of Payment, Surseance van Betaling (selanjutnya disingkat PKPU).
PKPU dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Bab II pasal 212 sampai dengan pasal 279. PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur (likuidasi harta pailit).[10]
PKPU adalah wahana yuridis ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya. Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur.
Bagi perusahaan, PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia akan dapat membayar utangnya.
Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur. PKPU bukan dimaksudkan untuk kepentingan debitur semata, juga untuk kepentingan para krediturnya khususnya kreditur konkuren. Dengan diberikannya waktu dan kesempatan, debitur nelalui reorganisasi usahanya dan atau restrukturisasi utang-utangnya dapat melanjutkan usahanya.
Apabila dalam Chapter 11 telah diatur tentang plan of reorganization, maka dalam UU Kepailitan diatur juga tentang rencana perdamaian dalam PKPU.
Rencana yang diajukan tidak bersamaan atau tidak dilampirkan pada permohonan PKPU harus diajukan:[11]
a. Sebelum hari ke-45, setelah putusan sementara penundaan kewajiban membayar utang atau sebelum hari sidang yang dimaksud dalam Pasal 515 Perpu No.1 Tahun 1998 atau pada tanggal kemudian dengan tetap memperhatikan Pasal 217 ayat 4.
b. Rencana perdamaian tersebut harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang padanya melekat Pengadilan Niaga yang memeriksa dan mengadili permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang agar dapat dilihat oleh setiap orang yang berkepentingan secara cuma-cuma.
c. Rencana perdamaian juga disampaikan kepada hakim pengawas dan pengurus serta ahli bila ada segera setelah rencana perdamaian ada.
PKPU memiliki dasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 212 yaitu permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diajukan dalam rangka penawaran rencana perdamaian (yang meliputi penawaran pembayaran secara penuh atau sebagian kepada kreditur konkuren) yang dilakukan oleh debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Jika hal itu dapat terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitur dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.
PKPU berbeda dengan kepailitan, karena walaupun dalam proses kepailitan juga ada kemungkinan tercapainya perdamaian, pada dasarnya kepailitan ditujukan kepada pemberesan dengan para kreditur, namun pada umumnya dengan cara menjual semua budel pailit dan membagikan kepada para kreditur yang berhak menurut urutan yang ditentukan dalam Undang Undang.[12]
Dari prinsip dasar di atas, diketahui bahwa PKPU memiliki kesamaan dengan reorganisasi dalam Chapter 11, dimana debitur diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi perusahaannya maupun restrukturisasi utang-utangnya sehingga dapat tetap eksis sebelum dinyatakan pailit oleh hakim.
Langkah untuk melakukan reorganisasi perusahaan lebih dahulu jelas lebih menguntungkan dibandingkan dengan melakukan prosedure kepailitan. Reorganisasi ini akan menguntungkan semua pihak baik debitur, kreditur para karyawan dan seluruh stake holder perusahaan.
Tindakan hukum kepailitan merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh bila seluruh proses perdamaian tidak dapat lagi dilakukan dan bila memang aset si pailit tidak cukup untuk memenuhi seluruh utang-utangnya meskipun diberi kesempatan dan jangka waktu yang cukup.
Di Indonesia pengertian kepailitan itu sendiri tidak disebutkan. Pasal 1 ayat 1 UUK menyebutkan :
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditur secara sendiri-sendiri.
Dengan demikian para kreditur harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.[13]
Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun yang akan diterimanya selama kepilitan itu berlangsung. Kepilitan itu sendiri mencakup :
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya.
2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.[14]
Seluruh kewenangan debitur pailit untuk mengurus seluruh harta kekayaanya tersebut tersebut selanjutnya beralih kepada kurator.
Meskipun UUK dimaksudkan untuk memaksimalkan harta pailit agar dapat dibagi secara seimbang di antara para krdeiturnya, namun dalam praktek masih banyak kecurangan yang dilakukan oleh debitur sehingga recovery fund yang diterima oleh debitur pailit sangat rendah hanya berkisar antara 10 persen - 15 persen dari total piutang yang dapat ditagih.
Kondisi ini mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan lembaga hukum kepailitan sebagai sarana untuk menagih piutang mereka. Kondisi yang sama juga terjadi saat ini meskipun Undang-Undang kepailitan yang lama sudah disempurnakan dalam UU No. 4 Tahun 1998.
Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa setelah UU No. 4 Tahun 1998 mulai berlaku, ternyata dalam praktek timbul beberapa permasalahan baik yang bersumber dari kelemahan Undang-undang Kepailitan itu sendiri maupun dalam praktek di pengadilan: [15]
1. Banyak hal yang tidak di atur secara tegas dalam Undang-undang Kepailitan, sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Pengertian utang, misalnya, tidak diberikan definisi yang jelas dalam Undang-undang Kepailitan sehingga ditafsirkan Hakim secara berbeda-beda baik di tingkat Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri maupun di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.
2. Adanya Interpretasi yang berbeda-beda terhadap ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut mengakibatkan timbulnya ketidak konsistenan dalam putusan Hakim dalam kasus-kasus kepailitan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidak pastian hukum.
3. Jangka waktu 30 hari yang diberikan UU Kepailitan untuk menyelesaikan satu perkara kepailitan dipandang dalam praktek sukar dilaksanakan, karena terlalu cepat.[16] Kalaupun Hakim Pengadilan Niaga dapat menyelsaikan perkara kepailitan dalam jangka waktu 30 hari tersebut, hakim tersebut hanya memfokuskan pada pembuktian sederhana sekedar untuk memenuhi persyaratan dinyatakannya pailit. Tebalnya alat bukti dalam kasus kepailitan yang rumit mungkin hanya dibaca dan diteliti secara singkat karena ketatnya waktu.
4. Adanya kecenderungan menurunnya jumlah perkara kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga di Jakarta Pusat. Awaknya pada tahun 1998, terdapat 31 perkara kepailitan yang didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Jumlah perkara kepailitan yang hanya 31 tersebut wajar karena Undang Undang Kepailitan baru berlaku secara efektif pada tanggal 9 September 1998. Jumlah perkara kepailitan melonjak drastis pada tahun 1999 sebanyak 100 kasus, pada tahun 2000 turun menjadi 84 kasus dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 60 kasus.[17]
Fenomena menurunnya kasus kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga tersebut menurut Erman Radjagukguk kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kelemahan dalam Undang-undang kepailitan itu sendiri.
Kedua, adanya ketidakkonsistenan putusan hakim dalam menangani kasus-kasus kepailitan, baik putusan pada Hakim Pengadilan Niaga maupun hakim pada tingkat pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali. Ketiga, meskipun Undang-undang Kepailitan sudah mengatur time frame yang ketat untuk menyelesaikan kasus kepailitan, namun ternyata penyelesaiannya ternyata terasa bertele-tele.
Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak-pihak yang dipailitkan akan mengajukan banding ke tingkat kasasi atau peninjaun kembali. Kenyataan ini menambah panjang proses peradilan kasus kepailitan, sehingga muncul kesan proses banding hanyalah upaya pengelakan dari pihak debitur yang dipailitkan.
Kreditur yang ditolak permohonan kepailitannyapun, dapat juga mengajukan kasasi dan peninjauan kembali. Meskipun pengajuan kasasi dan peninjauan kembali tersebut merupakan hak debitur atau kreditur, namun apabila semua perkara kepailitan diajukan sampai tingkat peninjauan kembali, maka kesan bertele-tele terkesan benar adanya.[18]
Keempat, meskipun belum ada penelitian tentang hal ini, diperkirakan tingkat recovery rate atau pengembalian utang oleh debitur melalui mekanisme kepailitan nilainya sangat rendah, yaitu diperkirakan hanya berkisar pada 10 persen – 20 persen.[19]
Mengingat kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam UU No. 4 Tahun 1998 sebagaimana diuraikan di atas, maka saat ini perlu dilakukan perubahan dan pembenahan dalam Undang-undang kepailitan yang baru.
Meskipun telah dilakukan berbagai revisi terhadap seluruh hukum nasional khususnya di bidang hukum ekonomi namun masih banyak ruang-ruang kososng yang senatiasa dimafaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Untuk itu Sacipto Rahardjo secara arif mengemukakan bahwa sejak semula hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang mematoki antara perbuatan yang “benar” dan yang “salah” secara sempurna.
Salah-salah mengatur bahkan bisa dikatakan seperti ungkapan “Summum ius summa iniuria” bahwa hukum yang bekerja terlalu hebat justru menimbulkan ketidakadilan.[20]
Hukum kepailitan di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan civil law system tentu berbeda dengan bankruptcy law di Amerika Serikat yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan common law system.
Perbedaan tersebut meliputi perbedaan sistematika dalam hukum kepailitan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998 dengan bankrupty code dan hukum kepailitan di Amerika Serikat.
Demikian pula perbedaan tentang pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, prosedure permohonan kepailitan, penundaan kewajiban pembayaran utang, jangka waktu yang harus ditempuh, hukum acara yang dipergunakan, reorganisasi perusahaan dan lain-lain.
Perbedaan ini disebabkan faktor sejarah lahirnya hukum kepailitan itu sendiri baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Selain itu perbedaan ini juga disebabkan oleh sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara yang berbeda.
Namun dalam perkembangan hukum yang terjadi saat ini terlihat adanya suatu convergemcy pada seluruh bidang hukum baik negara-negara penganut civil law system maupun common law system demi untuk menuju harmonisasi.
Daftar Pustaka
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani, Analisi Teori dan Praktek kepailitan dan Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta.
Asrun, Andi Muhammad, A. Prasentyatoko, dkk., Analisa Yuridis dan empiris Peradilan Niaga, Jakarta : Center for Information & Law Economic Studies, 2000.
David Gray Carlson, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich.L. Rev. 1341 (1987), halaman 8.
Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little, Brown and Company, 1985, halaman 21.
Ellyana S, Proses/Cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 - 14 Agustus 1998
Erman Radjagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No.II Vol 6, Halaman 114.
Erman Radjagukguk , Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law-Common Law) Jilid I (Kumpulan Kuliah), Fakultas Hukum UI Program Pasca Sarjana, 2000, hal 1.
Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, bahan E Learning “Bankruptcy Law” , hal 5 – 7.
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998
Fred. BG. Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998, makalah disampaikan dalam lokakarya UU Kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Penerbit Salemba Empat, Jakarta2001, halaman 3.
Kartini Mulyadi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak Hukumnya, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang Undang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
K. Santoso, Akibat Hukum Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya UndangUndang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
Lawrence M. Friedman, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc., 1985, halaman 549.
Dr. Man Suparman Sastrawidjaya, SH., SU, Antisipasi PT (Pesero) dalam Menyongsong Undang-undang Kepailitan, dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 331.
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 4.
Revisi UU Kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan yang Berangsur Punah (http://hukumon line. Com//edisi khusus/fokus _ details asp?rubrik = 3 & id = 93).
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983, halaman
[1] Erman Radjagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No.II Vol 6, Halaman 114.
[2] Lawrence M. Friedman, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc., 1985, halaman 549
[3] Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little, Brown and Company, 1985, halaman 21.
[4] Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 4.
[5] David Gray Carlson, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich.L. Rev. 1341 (1987), halaman 8.
[6] Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Penerbit Salemba Empat, Jakarta2001, halaman 3.
[7] Erman Radjagukguk , Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law-Common Law) Jilid I (Kumpulan Kuliah), Fakultas Hukum UI Program Pasca Sarjana, 2000, hal 1.
[8] Erman Radjagukguk, Opcit, hal 79
[9] Dr. Man Suparman Sastrawidjaya, SH., SU, Antisipasi PT (Pesero) dalam Menyongsong Undang-undang Kepailitan, dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 331.