Mohon tunggu...
Rossi Nafile
Rossi Nafile Mohon Tunggu... -

selama musik masih menjadi bahasa dan penawar yang dapat menjangkau kepekaan hati, maka sesungguhnya kemanusiaan masih dapat bertahan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Pudarnya Dinasti Mega

10 September 2013   15:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:05 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIARNUSA.com – Rakernas III PDIP usai tanpa keputusan tentang calon presiden (capres) yang akan diusung pada Pemilu 2014. Walaupun banyak suara dari peserta, khususnya dari daerah, yang menyuarakan agar PDIP segera menetapkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres PDIP, tapi jajaran elit partai berlambang banteng itu masih enggan.

Keputusan tetap di tangan Megawati Soekarnoputri, sang ketua umum dan simbol utama partai. Sebagai partai yang sejak awal didirikan dengan garis perjuangan PNI, figur Mega sebagai anak Soekarno tak bisa digantikan. Selama ada Mega, PDIP akan tetap berjalan sesuai fatwanya.

Sejarah PDIP lekat dengan sejarah politik Mega. Bahkan, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa PDIP tidak lain adalah kendaraan politik Mega, baik untuk menjadi presiden maupun untuk melanjutkan ideologi yang diperjuangkan ayahnya, Soekarno, yaitu marhaenisme.

Maka, hingga detik ini, PDIP sebetulnya belum membayangkan, apalagi memproyeksikan, ada figur lain selain Mega untuk diperjuangkan menjadi presiden. Apalagi, konstruksi politik belakangan ini kian mengarah pada menguatnya dinasti politik, baik di tingkat partai maupun di pemerintahan.

Hampir semua partai, kekuasaan terpusat pada figur utama.  Partai Demokrat terpusat pada Susilo Bambng Yudhoyono (SBY), Golkar pada Aburizal Bakrie (Ical), Hanura pada Wiranto, Gerindra pada Prabowo Subianto, dan Nasdem pada Surya Paloh. Sedikit saja yang kekuasaannya terdistribusi cukup merata. Dalam hal ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) layak menjadi contoh.

Dengan konstruksi politik dinasti seperti itu, tentu Mega tidak mudah melepaskan PDIP pada genggaman figur lain. Sebaliknya, Mega yang membangun kekuatan politiknya di atas nama besar ayahnya, juga akan berupaya memastikan bahwa PDIP tetap berada pada genggaman dirinya. Sudah menjadi watak dinasti, kekuasaan hanya dilepas kalau dipastikan pemegang selanjutnya adalah keluarga dekatnya.

Seperti laporan SIARNUSA, Senin 9 September 2013 kemarin, alasan Mega tidak menanggapi desakan pencapresan Jokowi bukan karena bingung dengan pertimbangan politik, tapi karena masih berduka atas kepergian suaminya, Taufik Kiemas. Dalam laporan berjudul Mega, Trah Soekarno, dan Jokowi itu, juga disebutkan bahwa ada kelompok internal PDIP yang tidak senang dengan munculnya Jokowi. Kenapa? Karena Jokowi bisa menggerus Mega.

Jokowi memang jadi berkah bagi PDIP. Popularitas dan elektabilitasnya yang tinggi menyumbang banyak pada naiknya elektabilitas PDIP. Dalam berbagai Pilkada, Jokowi bahkan menjadi pendorong utama kemenangan calon dari PDIP. Tidak berlebihan bila dikatakan, daya dorong Jokowi menaikkan elektabilitas PDIP sudah melebihi daya dorong Mega.

Jokowi adalah mega bintang. Tidak ada figur, baik di internal PDIP maupun di partai lain, yang mampu menyaingi elektabilitas Jokowi. Hampir semua lembaga survei mengatakan, seandainya Jokowi jadi capres pada Pemilu 2014, maka pemenangnya adalah Jokowi.

Karena itu, desakan kader PDIP untuk mencapreskan Jokowi adalah kalkulasi rasional. Namun, kalkulasi rasional ini berdampak besar pada nasib dinasti Mega di internal PDIP. Kalau PDIP mencapreskan Jokowi, mantan Walikota Solo ini perlahan akan menguasai penuh PDIP. Bisa jadi, pencapresan Jokowi juga akan diikuti oleh jatuhnya posisi Ketua Umum PDIP ke dalam genggamannya. Dan bila itu yang terjadi, Mega akan sulit mencari ruang kekuasaan untuk anak maupun keluarga dekat lainnya.

sumber: siarnusa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun