Tahun ini Peminatan Terapi Universitas Pelita Harapan (UPH) memasuki usia yang ke-10. Menarik diulas bagaimana perjalanan disiplin baru ini di Indonesia.
UPH merupakan universitas di Indonesia yang pertama kali memiliki Peminatan Terapi Musik pada Fakultas Ilmu Seni. Dalam kurikulum peminatan terapi musik, terdapat 4 praktikum yang harus dilakukan mahasiswa, yaitu dengan populasi anak, remaja, dewasa, dan lansia. Hal ini menggambarkan luasnya cakupan praktek terapi musik, walaupun selama ini mungkin kebanyakan orang menganggap bahwa terapi musik hanya untuk anak-anak.Â
Didukung oleh pengetahuan di bidang psikologi perkembangan dan abnormal, prinsip dasar fungsi tubuh manusia, otak dan sistem saraf, mahasiswa peminatan terapi musik belajar untuk mengenal manusia secara holistik. Hal ini penting karena ketika berhubungan dengan klien dan keluarganya, pemahaman akan sama pentingnya kesehatan mental dengan kesehatan fisik akan menjadi acuan awal dari intervensi yang dilakukan. Kemampuan bermusik yang selama ini mereka tekuni sebagai ketrampilan yang harus terus diasah, kini perlahan-lahan dilatih untuk diaplikasikan sebagai medium utama dalam proses terapi. Yang tak kalah penting adalah pengembangan ketrampilan interpersonal mereka, dalam membangun suatu hubungan terapeutik antara klien-terapis, juga dengan pihak-pihak terkait (misalnya keluarga, guru, kepala sekolah, dokter, profesi lain di tempat mereka bekerja).
Menurut Global Music Therapy International Survey Study dengan 2.495 responden terafiliasi dengan The World Federation of Music Therapy yang dilakukan oleh Dr.Petra Kern dan Dr.Daniel Tague, 50% dari responden terapis musik menempuh pendidikan S2, sedangkan responden dengan Bachelor's Degree menempati urutan ke-2 dengan jumlah 27%. Di Asia Tenggara, ada dua universitas lain, yaitu Mahidol University di Thailand dan St.Paul's University di Filipina yang menyelenggarakan pelatihan terapi musik pada jenjang S2.
Sebagai satu-satunya institusi pendidikan tinggi formal S1 yang menyediakan pelatihan terapi musik di Indonesia, terapi musik UPH mengemban tugas yang besar dalam mempersiapkan calon praktisi terapi musik di usia yang tergolong muda. Tentunya faktor-faktor terkait seperti pemahaman masyarakat mengenai kesehatan dan wellbeing, stigma tentang penyakit mental dan disabilitas, mengiringi perjalanan perkembangan disiplin ini. Kedekatan musik dengan manusia dan kehidupannya, serta peran musik yang berhubungan dengan kesehatan pun perlu diperkenalkan.Â
Meskipun masyarakat yang mengenal bidang ini masih tergolong kecil, namun kolaborasi menjadi suatu penggerak dalam memperkenalkan efek musik dalam kehidupan sehari-hari. Seminar dan lokakarya, baik dari terapis musik dan peneliti terapi musik dalam maupun luar negeri diadakan di dalam dan luar UPH.Â
Kerjasama dengan institusi-institusi pendidikan dan kesehatan masyarakat dilakukan untuk mendukung proyek praktikum mahasiswa-mahasiswa kami, juga memastikan suasana belajar yang kondusif dengan supervisi yang layak dari pihak setempat sehingga manfaat pun dapat dirasakan secara mutual dari semua pihak.
Sharing tentang terapi musik dengan populasi tertentu juga dilakukan bersama dengan komunitas-komunitas yang memiliki misi serupa, yaitu mengikis stigma tentang kesehatan mental dan meningkatkan wellbeing dari orang-orang yang tersingkirkan, orang-orang yang kerap kali tidak memiliki suara karena keterbatasan berekspresi dengan medium verbal atau kondisi fisik maupun psikis.
Terapi musik UPH berusaha menjangkau masyarakat untuk merasakan dan mengalami sendiri manfaat dari penggunaan musik dan elemen-elemennya melalui Klinik Terapi Musik yang dimulai pada tahun 2005. Peran serta mahasiswa dalam praktikum, di antaranya bekerja dengan pasien stroke, lansia di panti werda, orang dengan demensia, anak-anak dengan kebutuhan khusus, anak dengan kanker beserta orang tuanya, remaja-remaja di lembaga pemasyarakatan, remaja di rumah singgah, menjadi cikal-bakal benih terapi musik di Indonesia.
Dengan dukungan dana penelitian dari DIKTI, penelitian terapi musik dengan anak dalam spektrum autisme mulai dilakukan. Bak seorang anak di usia peralihan menuju remaja, terapi musik UPH masih sibuk bermain dan mengeksplorasi dirinya, mengenal budaya dan menyesuaikan pendekatan yang ada, sambil pelan-pelan menyusun identitas berdasarkan bukti. Namun demikian, peminatan terapi musik UPH memiliki cita-cita dan berkomitmen untuk senantiasa memberikan suara melalui musik yang sebenarnya dimiliki dalam tiap manusia, memperbaiki hubungan yang retak melalui ritme dan nada, dan pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan wellbeing masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H