Music memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Khususnya dalam pertumbuhan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus. Salah satunya dengan terapi musik. Di beberapa negara terapi musik sudah banyak digunakan sebagai alternatif pengobatan berbagai masalah kesehatan dan tak berbatas umur. Secara khusus, dalam kasus anak berkebutuhan khusus, terapi musik dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak yang terhambat.
Program studi Music Theraphy, yang merupakan salah satu peminatan dari Conservatory of Music Universitas Pelita Harapan (CoM UPH) cukup aktif mensosialisasikan kepada publik tentang pentingnya peran terapi musik beberapa diantaranya Gamelan sebagai media terapeutik dan Neurologic Music Therapy .
Tulisan ini menyambung artikel terkait terapi musik yang pernah saya posting. Kali ini saya ingin membagikan informasi dari seminar bertajuk “Music Therapy to Optimize Growth and Development of Children with Special Needs”, yang juga diadakan Music Theraphy CoM UPH, di MYC room kampus UPH Karawaci, pada 25 Januari 2017.
Dua pembicara diundang untuk membagikan pengetahuan dan pengalaman terkait topik seminar, yaitu Paula Chandra, MMT seorang praktisi Music Therapy dari RS Siloam Karawaci, yang sebelumnya berpraktek di Brawijaya Women and Children Hospital, dan pembicara lainnya yaitu Shu Che, BMT, MA, pengajar dari Ewha Womans University Korea.
Mengawali seminar, Paula Chandra, seorang therapist yang telah meraih gelar BA di bidang musik di Calvin College, Michigan dan Master in Musik Therapy yang khusus mempelajari neuroscience di Florida State University, menjelaskan mengenai Music Therapy, serta pengaruhnya terhadap emosional dan fisiologis seseorang. Menurutnya, perkembangan fisiologis sangat berkaitan dengan kemampuan motorik yang begitu berpengaruh pada tumbuh kembang anak-anak sejak kecil.
“Music therapy sendiri merupakan penggunaan intervensi musik atas dasar ilmiah untuk mencapai beragam tujuan individualis, yang dilakukan melalui hubungan therapeuticoleh profesional. Musik mempengaruhi fisiologis dapat dilihat dari bukti nyata bahwa sejak awal musik diterima oleh seseorang harus melalui bagian fisik seseorang yaitu telinga. Jadi musik tentunya menyentuh sisi fisik seseorang dan bukan hanya sisi emosionalnya,” jelas Paula.
Paula juga menjelaskan mengenai komponen-komponen musik seperti beat, rhythm, lirik, melodi, tempo, dinamika, harmoni, dan timbre. Secara garis besar Paula menjelaskan 10 teknik dalam terapi musik, diantaranya Rhythm Entertainment, playing, movements, singing and vocalization, dan lain-lain.
Lebih lanjut Paula membagikan pengalamannya ketika menjadi terapis dan menjelaskan peran musik untuk menghadapi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Menurutnya, musik mampu memberi kenyamanan, mengontrol sistem motorik, dan mempengaruhi emosi. Ia mencontohkan bagaimana musik dapat mengatasi permasalahan anak-anak yang sulit berkomunikasi, berbicara, dan membaca. Untuk melatih kemampuan mambaca, ia menjelaskan tiga tahapan dalam proses membaca. Pertama, menyadari adanya kata. Ke-dua, mempelajari hubungan dari kata antara si anak yang melihat visual dari kata dengan fonem ketika menyebutkannya, dimana tahap ini dilakukan oleh therapist dengan media musik. Dan ke-tiga, anak akan mulai pada tahap visual recognition sebagai hasil dari tahap kedua.
Pembicara kedua, Shu Che, BMT, MA yang menerima Bachelor of Music Therapy dan Minor in Psychology dari Georgia College dan State University, membahas mengenai tujuan dari music therapy bagi perkembangan anak-anak.
“Musik berperan bagi tumbuh kembang anak, ada dua hal yang menjadi fokus dalam pertumbuhan anak. Pertama kemampuan fisik dan kedua kemampuan otot dimana ketika otot anak lemah mereka akan sulit belajar merangkak, mengangkat kepala, duduk, serta kerja otot untuk kordinasi antara tangan dan kaki. Dalam mendorong pertumbuhan anak ini saya lebih banyak melakukan terapi dengan musik seperti bermain marching menggunakan tambourine,” jelas Shu Che.
Untuk menjelaskan terapi marching untuk anak-anak, Shu Che mengajak satu peserta untuk bermain Marching. Melalui praktek ini ia menjelaskan bahwa tujuan bermain marching bagi anak-anak adalah untuk menstimulus kemampuan anak dalam mengikuti instruksi bermain marching, seperti melakukan gerak jalan dan lari, juga kemampuan berbicara yang dilihat dari bagaimana respon dari anak ketika merespon ajakan bermain therapist, dan kemampuan anak tersebutu mengucapkan kata seperti “Go!” atau lainnya. Shu Che mengatakan bahwa kemampuan berbicara ini didorong melalui kemampuan bernyanyi, menggumam, pengulangan kata, dan melakukan permainan PECs (Picture Exchange Cards).