Sudah ratusan kali Kutitahkan nona berangkat lewat gunung itu, bukan? sudah Kukatakan Aku pasti menjagamu disetiap liku-likunya, terjalnya, bahkan sampai tiba di akhir pendakian, Aku masih menyertaimu. Tapi nona layaknya seorang dungu, memilih jalan pintas, jalan setapak dengan bilik-bilik hitam , yang pintunya-pintu sorga bagi para lanang yang jenuh dengan cinta. Lebih mudah dilalui memang, tapi nona sendiri tahu bukan? ada jurang dihilirnya.
Kemudian nona berdalih saat mereka menyebutmu munafik.
Bunyinya begini: terpaksa. nasib. takdir.
Tapi bukankah nona sendiri yang memilih menggantungkan kalimat pengampunan di langit-langit bilik. Nona sendiri yang menyamarkan detikan jarum jam dengan nada-nada erotis semalam suntuk. Nona sendiri yang mengizinkan dinding-dinding menjadi saksi kaki-kaki yang berselisih.
Nona sendiri yang mengizinkan keparat-keparat itu selama bertahun-tahun, menjamah bibirmu, tengkukmu, gundukanmu, selangkamu, tungkaimu, tanpa takut Aku geram. Nona sendiri yang memilih jalan setapak, padahal sudah aku letakkan bingkisan di akhir pendakian.
Sudah jelas 'kan, nona? Â bukan terpaksa, bukan nasib, bukan takdir. Nona sendiri dalangnya, nona yang bersukarela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H