Mohon tunggu...
Rosmiati
Rosmiati Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

,

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rempang Eco City: investasi atau pelanggaran hak tinjauan hukum internasional

10 Desember 2024   17:49 Diperbarui: 10 Desember 2024   17:49 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepulauan Riau (kepri) sering disebut sebagai "surya wisata" karena keindahan alamnya yang memikat dan menawarkan destinasi wisata yang eksotis di Indonesia. Kepulauan Riau juga  terletak di bagian timur Indonesia, berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, menjadikannya lokasi strategis untuk perdagangan dan investasi serta infrastruktur pembangunan salah satu nya kota batam, Batam telah menjadi salah satu pusat perdagangan, investasi, dan pembangunan infrastruktur yang paling menonjol di Indonesia. Tak hanya itu, salah satu pulau di kota batam yaitu pulau rempang dijadikan objek rencana proyek pembangunan pabrik kaca dan solar panel tapi masyarakat sekitar tidak setuju dikarena proyek yang akan dibangun di wilayah berkaitan dengan hak, identitas, dan kehidupan mereka sehari-hari.

  • KRONOLOGIS KONFLIK
  • Faktor menurut KBBI ialah hal (keadaan, peristiwa) yang ikut awal mula penyebab (mempengaruhi) terjadinya sesuatu 23. Konflik sosial yang terjadi antara masyarakat dengan aparat gabungan di Pulau Rempang, Batam didorong oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik, yakni:
    • 1) Tidak Adanya Kepastian Legalitas terkait Kepemilikan Tanah di Pulau Rempang oleh Masyarakat Lokal Ketegasan hukum tentunya sangat dibutuhkan dimana-mana. Ketegasan hukum diartikan sebagai jalan untuk pembuatan berbagai aturan hukum dalam bentuk perundang- undangan yang diciptakan oleh pihak yang berkuasa dan berwenang, jadi jika ditelisik berbagai macam aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang akan dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum itu akan berjalan dan berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Menurut Pakar Hukum Pertanahan, Dr. Ir. Tjahjo Arianto S.H., M.Hum., menyampaikan jika wilayah pulau batam keseluruhannya direncakan akan menjadi milik Pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam, dengan ciri-cirinya BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL)24. Tjahjo juga menyampaikan jika tidak terdapat awal mula hukum yang tegas yang berkaitan dengan apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang25. Pengamat kebijakan Publik Agus Pambagio menduga menyatakan bahwa ada tumpang tindih akan siapa pemilik dari lahan karena pada saat perencanaan awal pada pengembangan Pulau Rempang di tahun
    • 2000 (dua ribuan) sudah ada. Kemudian banyak yang mencari tanah dan diberi surat sehingga kepemilikannya tumpang tindih. Agus menyampaikan kepada Kementerian ATR/BPN agar kiranya dapat merubah serta memperbaiki data-data yang berhubungan pada siapa pemilik lahan yang diduga timpang tindih ini26 . Beliau juga menyatakan tidak ada aturan hukum yang menyatakan dengan tegas kepada Pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik Negara yang dikuasi oleh masyarakat27.
    • Sedangkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring juga menyampaikan bahwa pernyataan dari Menteri ATR/Kepala BPN yang mengatakan masyarakat Pulau Rempang belum punya sertifikat merupakan pernyataan yang harus dikembalikan ke
    • Kementerian tersebut. Menurutnya, Kementerian ATR/BPN seharusnya lebih aktif lagi untuk melegalisasi tanah warga di 16 Kampung Tua di Rempang, bukan memindahkanya atau merelokasinya28. Ditarik dari
    • bentuk legalisasi hukum pada pengelolaan lahan yang ada didaerah serta wilayah Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden nomor 41 tahun 1973 telah menjelaskan bahwa hak pengelolaan atas lahan Batam
    • diberikan kepada Otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut29. Pihak tersebut kelak akan membayarkan hak guna laha kepada
    • Pemerintah. Tahun 1992 dalam hal ini, Pemerintah dapat memberikan wilayah Rempang dan Galang untuk dikelola guna memajukan industri Batam pada Otoritas Batam. Sempat ada usaha pemisahan Otoritas Batam
    • dengan Pulau tua seperti Rempang oleh Walikota Batam30. Tapi belum ada tindak lanjut akan hal tersebut.
  • 2) Proses Sosialisasi terkait Eco City kepada Masyarakat Pulau Rempang Tidak Berjalan dengan Baik Sosialisasi merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Sosialisasi ada untuk memudahkan seseorang atau sekelompok orang dalam memahami suatu hal. Proses sosialisasi apabila ternyata jalannya belum baik dapat menimbulkan kesalahan, pemahaman yang berbeda, dan pemikiran seseorang atau sekelompok orang akan hal tersebut. Sama halnya pada saat terjadinya permasalahan di Pulau Rempang, Batam antara masyarakat lokal dengan aparat gabungan terkait dengan relokasi wilayah guna proyeK pembangunan Eco City. BP Batam sesaat sebelum arahan relokasi sudah menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat yang bermukim Pulau Rempang, akan tetapi warga masyarakat tidak merespon malahan masyarakat membuat penutupan jalan dan melakukan sweeping di Jembatan 4 Barelang31. Aparatur gabungan awalnya sudah
  • menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu namun pemberitahuab tersebut tidak didengarkan kembali oleh warga masyarakat malahan sekelompok warga masyarakat memberikan perlawanan dengan melempari
  • aparat gabungan dengan botol kaca dan juga batu. Hal ini dianggap sudah tidak bisa ditolerir dan dianggap tidak kondusif lagi, dengan berat hati terpaksa aparat gabungan pun melepaskan gas air mata.
  •  PELANGGARAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KASUS REMPANG 

Kasus Rempang di Batam melibatkan rencana pengembangan yang dapat memicu pelanggaran terhadap berbagai prinsip dan norma hukum internasional yaitu Pelanggaran Terhadap Hak Masyarakat Adat Jika proyek pengembangan dilaksanakan tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat adat setempat, hal ini dapat melanggar Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Dokumen ini mengakui hak masyarakat adat untuk mempertahankan, mengelola, dan mengakses tanah dan sumber daya mereka.

  • DASAR HUKUM KONFLIK PULAU REMPANG

  • UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria: Undang-undang ini mengatur tentang penguasaan dan penggunaan tanah di Indonesia. Dalam konteks Pulau Rempang, pertentangan antara hak penguasaan tanah oleh masyarakat lokal dan rencana pengembangan oleh pemerintah menjadi isu utama.

  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Rencana pembangunan yang berdampak pada lingkungan harus mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan. Konflik sering muncul ketika proyek pembangunan dianggap merusak ekosistem lokal.

  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang memiliki hak untuk mempertahankan tempat tinggal dan budaya mereka. Jika hak-hak ini terancam oleh proyek pembangunan, dapat muncul konflik.

  • Peraturan Daerah: Setiap daerah memiliki peraturan yang spesifik terkait penggunaan tanah dan pembangunan yang harus diikuti. Ketidakpatuhan terhadap regulasi lokal dapat memperburuk konflik.

  • Prinsip-prinsip Internasional: Beberapa konvensi internasional, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, juga dapat dijadikan dasar hukum dalam memperjuangkan hak masyarakat lokal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun