Hampir tiga puluh tahun penulis tidak menggunakan jasa kereta api dengan berbagai sebab, diantaranya memang merasa nyaman dan aman menggunakan mobil rental atau bis bahkan urunan bersama sanak saudara untuk menuju satu tujuan seperti Yogya, Malang atau ke Surabaya bahkan demikianpun sebaliknya.
Setelah lima tahunan belakangan ini, banyak kisah dan berita juga penuturan langsung dari putera puteri penulis bahwa kereta api jenis ekonomipun saat ini sudah cukup baik pelayanannya, khusus terkait pembelian tiket yang tidak perlu antri bisa langsung online, jika ada kendala di jaringan atau kehabisan bisa berburu dan beli tiket di mini market yang siap melakukakan layanan penjualan tiket.
Dan yang paling menarik dari itu semua bahwa, para pedagang asongan keseluruhannya telah ditertibkan sehingga tidak perlu merasa takut dan terganggu, meskipun disatu sisi ada praktisnya juga misal saat kereta berhenti di Kroya penumpang bisa menikmati khas pecelnya dengan bunga honje dan khas rempeyek udang-nya.
Sepur Primitif Masa Lalu
Diantara sekian banyak kepedihan masa lalu, menumpang kereta api bisa di simpulkan dalam satu kalimat : “penumpang tidak berbeda jauh dengan binatang” artinya tidak dimanusiakan.
Bayangkan saja, saat itu sekitar 1980 an adakalanya penumpang bersatu dan berbaur dengan binatang peliharaan seperti kambing, ayam atau kelinci.
Sebagai seorang perempuan yang tidak tahan dengan asap rokok harus rela tahan nafas jika kemudian satu gerbong semua pada merokok ya . . . mau komplain kesiapa.
Demikianpun rela saja menahan pipis dari Bandung baru mantap buang limbah di Yogya, karena secara psikologis sepur masa itu identik dengan wc primitif tanpa air, aroma neraka jahanan, dan sangat menjijikan anehnya sering bingung para petugasnya kemana . . .
Permasalah tidak hanya itu, bahkan kita sebagai penumpang di repotkan juga oleh pengamen, pencopet, penjahat, pedagang berbaur harmonis saling melindungi ibarat satu komunitas yang perlu di maklumi.
Pengamen yang tidak bermoral dengan cara memaksa dan menakutkan, pencopet yang lihai sehingga bagian keamanan tidak ada yang berkutik, dan pedagang yang garang plus bengis mereka memaksa agar penumpang membeli dagangan apapun yang mereka jajakan dan tawarkan sepanjang gerbong dan merekapun pantang takut mati menembus gerbong demi gerbong.
Yaitu lah sepur primitif seharga lebih kurang delapan ribu lima ratusan kelas ekonomi ( jika tidak keliru ingat, lupa. Saat itu nilai dolar sekitar delapan ribu ) dan berbagai tragedi juga kisah tentang pelayanan yang sangat – sangat buruk.