Para leluhur kami di Priangan sangat lazim menyeduh air panas mendidih  ditabur daun teh atau terkadang serbuk yang halus berwarna coklat kehitaman  kemudian kakek atau nenek kami  menutupnya beberapa menit lanjut  merekapun menyecapnya  dikala telah  hangat baru diseruput nikmat dengan suara sruput...  sruput.. yang kini mengenangnya  terasa romantis.
Berbeda dengan sebagian masyarakat Yogyakarta yang sempat penulis amati adalah kebiasaan induk semang kami meminum teh tubruk (daun dan ranting teh kering) dengan menyemplungkan beberapa potong  gula batu terkadang  kami di suguhi juga dengan ramah dan bangga atas kebudayaan minum teh dari turun temurun tanpa luntur oleh minuman instan yang berbentuk kotak,  cup atau botol plastik yang  di rancang secara memikat kita saksikan bersama  sedemikian  trendi sepuluh tahun belakangan ini.
Aki dan Emak Nini setiap pagi buta mereka memiliki  budaya utama membuka sarapan dengan minum teh hangat menyambut udara dingin menyengat bahkan  masih sering berkabut di seputar tatar Pasundan.
Sehingga bagi Emak Nini daun atau serbuk teh memang  menjadi stok unggulan yang tidak pernah kosong di kelernya*  sepanjang hayat mereka, sedang cemilan pelengkap beberapa potong  singkong rebus atau bubuy*  ubi dan pisang tanduk hasil tanaman di bagian sawah milik leluhur yang memang petani buhun*.
Titik Kumpul Gedung Sate -- Bandung
Jam 15.00 merupakan kesepakatan  dan keputusan bersama bahwa kompasianer Jakarta menanti kompasianer  Bandung berkumpul di Gedung Sate.
Berangsur satu demi satu kompasianer Bandung dari berbagai arah  hadir  di titik samping bekas kantor gubernur jenderal Belanda dahulu kala, diantara panas, debu, kemacetan lalu lintas dan semerawutnya pusat kota.
Adapun sebagian kompasianer Jakarta  di pandu Mbak Muthi'ah mengisi waktu menunggu dengan cara kulineran, menuju museum geologi, museun pos dan menyaksikan hijaunya taman lansia.
Bismillahimajreha Wamursaha... inna Robbi wa ghafururrahiim.
Tujuh Belasan 2017 Â Yang Energik Bersama 4 BUMN