Menjahit sesungguhnya budaya kaum perempuan Indonesia entah sejak kapan namun jika membaca sejarah sepertinya RA. Kartini memiliki kegiatan menjahit apalagi Raden Dewi Sartika beliau dengan Sakola Kautamaan Istri juga salah satu ketrampilan yang diajarkan kepada para muridnya adalah menjahit, Rahmah El Yunusiyyah di Padang – Panjang Sumatera Barat mengajarkan pendidikan tentang menjahit hingga Ibu Tien Suharto Ibu Negara RI yang kedua seingat penulis pernah menjahit bahkan Ibu Muslimah dikisahkan dalam novel Lasykar Pelangi yang ditulis manis oleh Andrea Herata juga memiliki ketrampilan menjahit.
Kurikulum Sekolah Pendukung Dan Pertahanan Budaya Menjahit
Masa Sekolah Dasar seingat penulis saat kelas VI (sekitar tahun 1970 – an) pada semester akhir Bapak Guru membagi para siswanya berkelompok masing–masing tiga orang diminta membuat taplak meja ukuran 1.5 x 2 m dengan instruksi awal adalah menjahit dengan jenis jahitan yang disebut jalujur atau jelujur bergantian, kemudian di som hanya dua jenis tusukan itu saja yang diajarkan pada kami, ketika itu mesin jahit masih merupakan barang mewah tentu saja kami menggunakan jarum tangan karena masih kanak-kanak suatu hal yang tidak menyulitkan memasukkan benang ke lubang jarum yang lumayan halus.
Saat usia penulis telah menginjak di bangku SMP semua murid perempuan serentang tiga tahun ada pelajaran Keterampilan Putri programnya menjahit aneka macam–macam tusuk, ada tusuk veston tusuk pagar tusuk ini itu dan sebagainya (sudah #lupa) termasuk memasang kancing. Oiya, menjahit kain strimin dengan media mirip jaring kotak–kotak dari bahan plastik halus dengan jarum ukuran jumbo menggunakan benang wol warna warni.
Pada suatu ketika sekitar tahun 1975 – 1985an jahit strimin begitu tren sehingga di dinding rumah-rumah penduduk dari Barat hingga Timur Pulau Jawa terpampang hiasan jahitan strimin, semakin besar lebar dan indah harmonisasi benang wol maka serasa semakin wach dan keren sebagai pemilik rumah dengan hiasan jahitan strimin terbesar dan terindah bukan hasil membeli dari toko akan tetapi handmade yang dijahit secara manual, saat para Ibu Teteh dan Nenek usai pekerjaan domestik.
Kebiasaan menjahit baju sendiri terus di pertahankan hingga sekitar tahun 1990 rok sederhana, baju ghamis dengan pola dasar atau blus bahkan beberapa baju kurung ala-ala masyarakat Minangkabau yang sangat khas menggunakan daun body dan sibar sehingga longgar dan berkesan sedikit memberi bentuk yang lebih glory.
Daun body dilekat pada ketiak dengan bentuk empat persegi sama sisi, dengan tempelan kain kecil ini sesungguhnya menurut apa yang diajarkan oleh Ibu Guru ketika tahun 1977 untuk memberikan kesan bahwa busana yang kita pakai ketat dan menonjolkan apa yang tidak boleh tampak sangat seronok, demikian sibar di letakkan di samping kanan dan kiri dengan teknik pemotongan yang khusus dan menjahit manual dengan setik balik yang ekstra rapih disesuaikan dengan bahan baju sejenis katun ada juga yang menggunaka bahan foal.
Menjahit adalah kebudayaan yang menyebar di kalangan kaum perempuan bahkan dikenal juga ada pendidikan formal sederajat SMP dan terkenal dengan labeling SKP (Sekolah Kepandaian Puteri) bahkan salah seorang alumninya adalah istri ke empat mantan Presiden Soekarno yaitu Ibu Hartini saat itu SKP bernama Nijheidschool
Isyarat dari Alam Abadi
Menjahit adalah keterampilan yang sedemikian berguna, bermanfaat dan menjemput trauma diri yang hari demi hari memunculkan tanda tanya tanpa jawaban.
Tentu saja sangat berguna baik menggunakan jarum halus yang ketika usia muda tidak terkendala memasukkan benang ke lubang jarum. Kemajuan teknologi berkembang merayap dan cukup membantu sempat menggunakan handmade meskipun menurut penulis kurang praktis dan agak sedikit ribet pada akhirnya bisa menggunakan mesin jahit kaki yang lebih cepat dan lebih rapih serta kualitas prima karena jalinan benang menjadi lebih kuat.
Memiliki ketrampilan menjahit pakaian sendiri jelas akan memberi manfaat lebih karena tidak sekedar menjahit pakaian baju rok dan celana yang sering digunakan hari–hari, yang lebih utama lagi bisa menghemat upah dan aspek kecepatan membuat sprei, sarung bantal, gordyn bahkan kain kafan para Ibu rumahan akan sigap melakukan produksi jahitan untuk menolong tetangga keluarga dan khususnya segala sesuatu yang terkadang sifatnya mendesak, sekiranya kita mengandalkan tukang jahit tentu saja sabar antri adalah modal yang mesti kita siapkan.
Sekitar enam bulan berlalu, suatu siang menjelang ashar muncul rasa mengantuk yang hebat tidak dapat di toleransi karena tidak biasa tidur menjelang ashar dengan beberapa pertimbangan. Maka sedikit lesu tidurlah dan menuju kamar hari memang menjelang ashar, penulis terlelap sekitar 45 menitan, seketika di tengah tidur nyaman muncul wajah suami dengan menggunakan baju yang sudah lama tertimbun dalam ingatan blus lurik putih dengan garis membentang warna transparan antara biru muda, pink hijau dan serbuk–serbuk mengkilap tidak terlalu menonjol kain ini memang indah lengan panjang kerah chiang ie dan ada beskap di bagian depan cukup modis saat itu karena mengambil dan memakai pola dari majalah femina sekitar tahun 1985 – 1990 an.
Hadirnya hanya sekitar satu detik saja karena saat penulis menatap wajah suami langsung saya ajukan pertanyaan “Ayah kenapa kamu pergi dan tinggalkan saya sendirian di sini” ia hanya menatap sejenak saja . . . tanpa berkata–kata, saat itu penulis langsung terbangun dan spontan berteriak histeris meledak tangisan tanpa kendali “Ayah . . . Ayah . . . Ayah . . . ”
Seisi rumah menghampiri dan puteri ke delapan memeluk sambil iapun menangis di sela-sela tangisnya “Bund sudah . . . sudah Bund . . . Bund . . . sudah“
Setelah agak tenang segera menuju jamban dan mandi menyiram kepala berulang – ulang dengan air dingin Ciburial agar kehadiran suami dalam tidur yang terasa nyata sirna . . . pergi . . . jauh agar tak lagi muncul tangis demi tangis.
Pertanyaannya kenapa ia datang dengan baju yang saya jahit sendiri dan itu sekitar 30 tahun yang lalu di masa usia putera dan puteri kami masih balita.
Membangun Kebiasaan Menjahit di Komunitas Blogger
Pagi sekali Sabtu (14/1/2017) penulis telah bersiap – siap memenuhi undangan Mbak Astri Damayanti dan Mbak Selly Fauzy dari Kriya Indonesia, beberapa bulan sebelumnya secara intens dapat inbox dari Teh Rinrin Irma blogger Bandung.
Memang kelompok di bagi dua dimana kelompok pertama memasang pola sederhana, menggunting dan menjahit kalau menurut penulis jika menggunakan jarum manual jenis jahitan stik balik, sedangkan kelompok kedua mendoodle kain yang sama untuk dijahit auter assecories hiasan yang di pandu oleh Mbak Tanti Amelia.
Menyaksikan bloggerBandung dan bloggerSoreang yang rerata Ibu muda atau bahkan sangat muda sekali ada rasa prihatin dan membuat penulis galau, galau dengan suasana yang sesungguhnya hangat juga seru plus galau mengenang segala sesuatu terkait jahit menjahit ini.
Diperjalanan kembali ke pondok, saat duduk di kursi yang biasa almarhum duduk disitu penulis merenung dan menjawab tanya yang mengendap hampit satu tahun setengah.
Ayah menjumpai Bunda dengan baju hasil jahitan sendiri, sesungguhnya Ayah sedemikian bangga dengan kreasi istrinya dia tahu saat membeli bahan, dia mengantarkan saat membeli majalah femina dan menemukan pola sederhana, dia menyaksikan istrinya mengguting pola dan dia mendampingi saat istrinya dengan tekun menjahit bagian demi bagian bahan yang telah di gunting, mungkin ini jawaban dari pertanyaan yang muncul dalam kepingan hidup penulis.
Hatur nuhun Teh Rinrin Irma, hatur nuhun Mbak Astri Damayanti dan terima kasih kepada semua tim yang terlibat di acara Workshop Menjahit di Bandung bersama Brother Indoneisa dan Stabilo Indonesia, siip. keren pisan ya.
Ahad, 17 Rabi'ul Akhir 1438 H / 15 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H