Kompasianer siapapun mereka disaat daftar dan punya akun baru kemudian menulis di blog keroyokan ini tidak serta merta mengenal Pepih Nugraha sebagai kepala suku atau penggede bahkan sebutan trendi celebrity; demikianpun yang terjadi pada diri penulis.
Saya mulai mengenal Kang Pepih (sebutan kebesaran beliau dan terasa loma bagi urang Sunda magh !) saat mulai hingar bingar terjadi di blog ini, caci maki dan tudingan macam – macam termasuk sumpah serapah yang sempat membingungkan karena baru landing beberapa kasus diantara tentang Mbak Ifani, Pak De Kartono, undangan Istana dan #lupa lagi.
Dari berbagai tulisan – tulisan tersebut penulis bertanya – tanya kepada putera kami yang terlebih dahulu menjadi kompasianer, responnya sangat positif Dzulfikar Al’Ala sambil berpesan “Kang Pepih seorang pejuang . . . bla bla bla, Bunda jangan terpengaruh oleh tulisan dan komentar – komentar negatif tentang beliau biasalah didunia banyak juga orang yang jeles dan gejelah mereka magh ke Kang Pepih”, nasihat si anak ke emaknya.
Akhirnya kitapun mengetahui bahwasanya Kang Pepih berasal dari Tasikmalaya, banyak hal yang bisa penulis ungkapkan tentang kampung kelahiran Akang yang kaya pengalaman di dunia tulis menulis ini dengan media yang bermacam – macam khususnya blog.
Para leluhur kami jika menyebutkan Tasikmalaya maka mereka akan menyebutkan tentang Pondok Pesantren Suryalaya dengan Abah Anom yang teramat kharismatik dan kakoncara di Jawa - Barat, atau Pesantren Cipasung pimpinan KH. Ilyas Ruhiat yang tidak kalah pamornya dengan Ajengan – ajengan lainnya, termasuk KH. Khoer Afandi dengan Miftahul Hudanya, tentu saja mengenang orang – orang yang terkenal kesholehannya dan beliau – beliau berasal dari Tasik seakan Kang Pepih juga identik dengan para tokoh bersejarah ini, minimal aura kepesantrenannya bisa tertangkap.
Baiklah jikapun Kang Pepih tidak terkait dengan para Ajengan tersebut namun kaitan yang nyata adalah betapa tulisan beliau yang mengalir jernih dalam salah satu bukunya berjudul Ibu Pertiwi Memanggil Pulang, hampir kental dengan aroma dakwah yang di bungkus dengan cantik dan unik, membacanya orang tidak merasa sedang di dakwahi seperti pada halaman 99 – 103 dengan sub judul
Ketika Mencuri Tak dianggap Aib Lagi di Ibu Pertiwi ; meskipun ini adalah semacam kegelisahan Kang Pepih tentang kampung halaman yang dulu suara jangkrik terdengar nyaring dan kini jangkrik pada membisu protes terhadap lingkungan sekitarnya dan beliau terkesannya bingung hingga menuliskan . . .
“Saya tidak tahu apakah akhlak dan moral itu urusan Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila”