Mohon tunggu...
Roslaini
Roslaini Mohon Tunggu... Penulis - Roslaini

Reni

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Penyelenggaraan Pilkada yang Bebas Korupsi

3 Desember 2020   21:33 Diperbarui: 3 Desember 2020   21:48 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Baiklah sebelum saya menyampaikan opini saya tentang Penyelenggaraan Pilkada Yang Bebas Korupsi, saya akan menjelaskan apa yang dimakusd dengan Pilkada itu ? mungkin masih banyak dari kita yang kurang tahu apa itu Pilkada. Biklah saya lansung saja menjelaskan apa itu Pilkada. Pilkada adalah (Pemilihan Kepala Daerah) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administrasi setempat memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah . Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud adalah mencakup : Gubernur dan Wakil Gubernur unruk provinsi.

Pada 2 Desember lalu, Komisi pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan peraturan komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota . Peraturan tersebut menjadi pedoman teknis bagi penyelenggara pemilihan umum di daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Kabupaten/Kota di Indosnesia akan melaksanakan pemilihan Kepala Daerah (pilkada) serentak. Ada 270 daerah terdiri 9 provinsi, 224 Kabupaten,dan 37 Kota telah siap melakukan pesta demokrasi karena masa bakti Kepala Daerah telah usai.

Nah, dari pernyataan di atas, maka saya langsung saja menyampaikan opini saya terkait bebas korupsi dan Bagaimana bisa pemimpin yang pernah terkait korupsi bisa mencalonkan diri lagi ?

Undang-undang pilkada dan undang-undang pemilu belum mampu menghadirkan jawaban mengenai integritas peserta pemilu. Pengaturan dan mekanisme sanksi dikedua regulasi tersebut belum berubah secara signifikan. Kerangka hukum yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada dan pemilihan umum selama ini belum mampu memberikan jaminan memadai bagi kehadiran sebuah pemilihan umum yang demokratis dan melindungi kemurnian hak pilih warga.

Jika mantan korupsi ini terpilih menjadi pemimpin akan berdampak buruk bagi rakyat dan daerah yang dipimpin oleh mantan narapidana atau koruptor tersebut. Mantan narapidana atau korupsi tidak mempunyai hak untuk mencalonkan diri menjadi calon wakil rakyat lagi Masih banyak warga Negara Indonesia (WNI) yang lebih berhak dan mempunyai rekam jejak lebih baik untuk maju sebagai calon wakil rakyat. Artinya calon pemimpin yang mantan narapidana atau korupsi tidak bisa bertanggung jawab dengan benar karena pernah berkhianat terhadap rakyat.

 Karena itu, meskipun pelaksanaan pilkada dan pemilihan umum selama ini masih dinodai berbagai tindak pidana korupsi, menuding pemilihan langsung sebagai biang keladi perilaku korupsi Kepala Daerah sehingga harus kembali ke pemilihan tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat daerah bukanlah sikap bijaksana. Pemilihan langsung mungkin memang berkontribusi bagi kemunculan perilaku korup para Kepala Daerah, tapi ia bukanlah faktor tunggal.

Bagaimana bisa pemimpin yang penah terkait korupsi bisa mencalonkan diri kembali ? Menurut pendapat saya dalam hal ini boleh saja asalkan dengan syarat-syarat ditentukan UU pemilu dan mengumumkannya kepada publik bahwasannya calon adalah koruptor. 

Sehingga apabila seorang pejabat (kepala daerah) hanya ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam sebuah kasus korupsi, maka orang tersebut dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Setiap pilkada para pencalon akan melaksanakan kampanye, membacakan visi-misinya, tetapi kebanyakan saat ini masyarakat yang dilihat bukan visi-misinya melainkan seberapa banyak uang yang dikasih para pencalon tersebut. Jika masyarakat yang berpendidikan dan berpikir logis mereka tidak hanya memlihat dari uang tetapi dilihat dari visi-misi dan bukti dari para pencalonan itu. 

Dan mereka juga akan melihat dan mencari tahu siapa orang yang akan mencalonkan diri itu. Pengganguran di Indonesia semakin meningkat, karna uang masyarakat kebanyakan diambil oleh para pemimpin sehingga tidak bisa membuat lapangan kerja bagi orang yang tidak bersekolah dan akhirnya pun pengangguran semakin meningkat.

Dalam pilkada ini juga harus bersaing secara sehat, tidak ada yang membeli suara rakyat. Saya yakin jika dari awal pilkada tidak ada yang main uang untuk membeli suara rakyat maka korupsi tidak aka nada dalam kehidupan pencalonan pemimpin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun