Sesaat langkahku terhenti. Kabut semakin tebal menghadang. Aku tertegun saat jalan mulai memasuki semak belukar. Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak. Aku mulai berpikir untuk kembali saja. Namun separoh hatiku membawa langkah ini justru semakin cepat memasuki hutan kecil itu. Dari balik pepohonan yang samar ditimpa obor, aku melihat bayangan seseorang mengendap-endap di belakang. Bagai tak ingin terlihat dia ikut berhenti saat aku berhenti melangkah. Kukuatkan hati untuk terus berjalan menelusuri jalan setapak yang penuh liku itu.
Ketika sampai di sebuah tikungan sempit. Aku bersembunyi di balik sebatang pohon. Dengan napas tersengal kutunggu seseorang itu muncul dari balik tikungan. Namun sekelebat bayangan menghadang di depan langkahku. Sepasang tangan kokoh tiba-tiba telah memeluk erat tubuhku. Deg, jantungku hampir copot. Aku meronta sekuat tenaga. Â Melepaskan rangkulan sambil berusaha melihat wajah laki-laki itu. Semakin kuat aku berusaha, semakin erat pula pelukannya.
Aura ngeri menjalari sekujur tubuhku. Â Aku mengigil, akankah nasibku sama seperti ibu? Yang hilang tak tau rimbanya. Kupejamkan mata dan kurasakan tubuhku melayang. Aku ingin menjerit, namun suara tak jua keluar. Ketika kubuka mataku, kulihat sebuah gubuk bambu berpenerangan seadanya. Sesosok bayangan muncul dari bilik bambu.
"Anakku, kau di sini, Nak?"
"Ibu, ..." ibu memeluku erat. Tak ada kata yang terucap. Air mata bercucuran.
"Maafkan Bapakmu ini, Nak. Ini terpaksa Bapak lakukan. Belanda keparat itu membawa setiap perempuan muda dari desa kita."
Aku berbalik, dan merangkul laki-laki tinggi besar itu.
"Terima kasih Bapak, bisikku lirih."
Sungai Rumbai di rinai malam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H