Dampak Cofit-19 bukan hanya menyerang organ tubuh secara fisik tetapi juga mental. Kecemasan dan keterbatasan dari berbagai akses sosial menjadi belenggu kehidupan manusia. Kebutuhan mengaktualisasikan diri terhambat sehingga banyak manusia terjebak dalam stress dan depresi. Berbagai kebijakan pemerintah harus ditelan manis dan dinikmati. Salah satu kebijakan itu adalah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Dalam perkembangannya kebijkan tersebut mendorong berbagai reaksi, satu diantaranya adalah luapan emosional di sosial media. Ungkapan menggelitik dan lucu wujud kreatifitas  yang sangat menarik untuk dikaji.
Ungkapan tabu sering kali digunakan di sosial media bahkan terkesan ada kesengajaan untuk ditampilkan. Hal yang sangat bertolak belakang dengan budaya Indonesia khususnya budaya Jawa yang masih menjunjung tinggi nilai untuk tidak berucap tabu (saru), apalagi berucap tabu di ranah umum. Sosial media dengan akses yang sangat luas sering kali menampilkan muatan yang bernilai tabu seperti foto, video, meme ataupun penulisan status yang mengandung unsur pornografi.
Tabu atau pamali diyakini masyarakat Indonesia sebagai suatu nilai budaya yang dapat menata kehidupan menjadi lebih baik. Tabu, mengingatkan manusia untuk selalu memahami bahwa ada hal-hal atau ungkapan apabila dilakukan maka akan muncul atmosfer yang tidak baik. Tetapi pada kasus ini ada hal menggelitik dari fenomena di sosial media, yaitu  ada kelucuan yang menghibur di balik postingan yang berbau tabu. Salah satu postingan netijen yang mengunggah status facebook dengan harapan dan fungsi sebagai media persuasif dalam balutan kata-kata tabu.
Isi postingan di atas menunjukkan wacana yang berusaha mempengaruhi pengguna facebook untuk selalu menjaga prokes pada masa pandemi cofit. Munculnya akronim yang berkonotasi tabu karena merujuk pada bagian tubuh kelamin manusia yang terinspirasi dari gerakan 3 M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak) atau 5 M yang merupakan pengembangan dari 3 M ditambah menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas. Penulis terlihat sengaja memikirkan dengan pilihan diksi yang dianggap tepat sehingga bisa menyampaikan maksud yang diinginkan, menghibur dan menarik perhatian. Penambahan emotikon tertawa lebar menunjukkan bahwa penulis sangat menyadari apa yang dia tulis adalah hal yang tidak biasa ditampilkan secara vulgar tetapi dia langgar.
Mencermati akronim yang mengadopsi dari kosa kata yang berhubungan dengan alat kelamin adalah diksi yang dianggap sangat pas untuk menarik perhatian dan menghibur di saat masyarakat  berada pada level kecemasan dan stress yang cukup tinggi karena cofit 19. Ternyata kejelian penulis tersebut benar adanya. Banyaknya jumlah pengguna facebook yang memberikan jempol serta saling berbalas komentar-komentar lucu hingga menganak ular adalah bukti bahwa penulis telah sukses meraih perhatian yang besar dari facebooker yang lain. Luapan perasaan para facebooker saling berbalas komentar dan candaan sejenak dapat memberikan rileksasi dan hiburan yang memicu terbentuknya hormon endorfin sebagai pereda nyeri dari respon terhadap stress.
Secara Pragmatis makna tuturan " Ingat dan Jangan Lupa JEMBUT" adalah jenis tindak tutur direktif, dimana penutur mengajak/menyuruh mitra tutur untuk selalu ingat dan mematuhi aturan prokes di saat pandemi. Pemilihan kata berkonotasi tabu yang berfungsi sebagai kelakar untuk menghaluskan perintah kepada mitra tutur adalah strategi jitu penulis untuk mengurangi beban pada mitra tutur. Merujuk salah satu teori strategi kesantunan Brown Levinson bahwa salah satu strategi kesantunan  bisa melalui gurauan.
Sisi lain yang bisa digali dari bentuk ekspresi yang ada pada postingan tersebut adalah tulisan yang dapat dikategorikan sebagai model propaganda sederhana. Mengutip pendapat R.A Santoso Sastropoetro bahwa propaganda adalah penyebaran pesan yang direncanakan secara sungguh-sungguh untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku komunikan sesuai dengan pola yang telah ditetapkan komunikator. Dalam postingan tersebut penulis berusaha melakukan komunikasi secara persuasif, direncanakan agar pembaca bisa mengikuti keinginan penulis. Di dalam penyampaian maksud penulis tersebut dibutuhkan seni untuk mempengaruhi seseorang, dan penulis akhirnya memilih akronim JEMBUTÂ dengan kepanjangan J (jaga jarak), E (eling maskeran), M ( mencuci tangan), B (biasakan hidup sehat), U (usahakan hindari kerumunan), T (taati protokol) sebagai senjata dan seni dalam propaganda.
Kejelian penulis dalam memilih media facebook sebagai sarana menyampaikan pesan menyiratkan keseriusan penulis dalam melakukan persuasi kepada pembaca sangat tepat. Data Tempo 20 Nopember 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-3 pengguna facebook di seluruh dunia. Jumlah pengguna facebook di Indonesia mencapai 142,5 juta. Besarnya pengguna facebook di Indonesia menjadi ladang yang cukup strategis untuk menyampaikan maksud yang bersifat persuasif. Apakah penggunaan kata JEMBUT pada postingan tersebut berakhir dengan keputusan tabu ? maka jawabnya adalah tergantung kepada konteks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H