Seiring berjalannya waktu perjuangan bangsa Indonesia mengalami perubahan. Dari berbagai bangsa kolonial yang menjajah, berbagai cara perlawanan dan berbagai sistem pemerintahan yang diterapkan oleh bangsa kolonial tersebut. Kebijakan pemerintahan Hindia Belanda yang paling berpengaruh dalam perjuangan bangsa Indonesia ialah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi yang diberikan sebagai balas budi atas kerja keras masyarakat Pribumi dalam membantu pemerintahan Hindia Belanda atau karena bangsa Belanda itu sendiri yang secara paksa mempekerjakan masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan politik etis lahir setelah sistem tanam paksa di Hindia Belanda dikritik oleh C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum Belanda dan kemudian menjadi tokoh politik etis. Adapun dari politik etis ini memiliki tiga kebijakan yang dikenal dengan Trias Politika yaitu Irigasi, Migrasi dan Edukasi. Irigasi diperlukan untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat pribumi dalam bidang pangan. Emigrasi dilakukan demi mengirimkan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan di wilayah Sumatera. Sedangkan pendidikan atau edukasi dilaksanakan untuk menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan negara.
Edukasi merupakan kebijakan yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Hindia Belanda. Adapun sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda adalah HIS (Hollamdsche Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren).
Yang mana sekolah-sekolah ini menerapkan pendidikan gaya barat yang diajarkan ke masyarakat Hindia Belanda, dan lahirlah golongan baru dalam masyarakat Hindia Belanda yang disebut golongan elite baru. Golongan elite baru disebut juga sebagai golongan priyayi. Golongan priyayi tersebut banyak yang berprofesi sebagai dokter, guru, jurnalis, dan aparatur pemerintahan. Mereka memiliki pikiran yang maju serta semakin sadar terhadap penindasan-penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, golongan elite baru berhasil mengubah corak perjuangan masyarakat dalam melawan penindasan pemerintah kolonial, dari yang tadinya bersifat kedaerahan menjadi bersifat nasional.
Sampai pada saat pemerintahan Belanda memberikan kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi yang di resmikan pada bulan September 1901. Maka lahirlah berbagai perubahan yang dilakukan setelah lahirnya kaum elit atau kaum terpelajar dalam memperjuangkan kemerdekaan, yaitu :
- Dipimpin dan digerakkan oleh kaum terpelajar. Kaum terpelajar mendorong perjuangan melawan penjajahan barat melalui pendirian organisasi-organisasi pergerakan.
- Bersifat nasional dan sudah ada persatuan antara daerah. Perjuangan yang dilakukan melalui organisasi berhasil menyatukan masyarakat Hindia Belanda yang terdiri dari beragam suku. Selain itu persamaan nasib membuat munculnya persatuan nasional di masa ini.
- Melakukan perlawanan secara pemikiran. Perjuangan melalui pemikiran muncul karena masyarakat bumiputera sadar bahwa kekuatan persenjataan tidak mampu mengalahkan pemerintah Hindia Belanda. Alhasil perjuangan beralih melalui pemikiran yang muncul dalam berbagai cara, mulai dari kampanye lewat pers, rapat akbar, tulisan, hingga menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
- Terorganisir dan ada kaderisasi yang jelas. Perjuangan melalui organisasi berhasil menciptakan kaderisasi anggota. Melalui kaderisasi anggota, faktor kepemimpinan dalam perjuangan tidak lagi terfokus pada pemimpin yang kharismatik, karena akan selalu muncul pemimpin dari kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi.
- Memiliki visi yang jelas yaitu Indonesia merdeka. Perjuangan masyarakat bumiputera di masa ini memiliki tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka.
Salah satu hasil dari politik etis yang melahirkan golongan elit adalah lahirlah berbagai pergerakan nasional yang ada di Indonesia, momen ini merupakan masa Indonesia untuk bergerak. Sebelum adanya politik etis yang melahirkan golongan elit, perjuangan bangsa Indonesia hanya sekedar penyerangan yang dipimpin oleh para pemimpin yang kharismatik, menyerang secara gerilya dan bersifat lokal. Tetapi setelah tahun 1908 dengan lahirnya Budi Utomo, Indische Partij, Serikat Islam, PKI, PNI, Perindo dan organisasi lainnya cara perjuangan bangsa Indonesia pun berubah.
Salah satu cara yang dilakukan oleh kaum elit atau kaum priyayi dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda ialah media pers atau surat kabar. Pers di Indonesia berawal dari diperkenalkannya mesin cetak oleh misionaris Gereja Protestan pada pada tahun 1624. Alat percetakan yang dibawa langsung dari Belanda itu pada mulanya akan digunakan untuk menerbitkan literatur Kristen dan keperluan misi zending lainnya. Penggunaan mesin cetak ini pertama kali terlaksana pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Inhoff, yang mana pada saat itu VOC dan masyarakat Pribumi membuat perjanjian Bongaya.
Tidak hanya itu, penggunaan mesin ketik semakin berkembang sehingga lahirlah surat kabar. Pada tanggal 8 Agustus 1744 di Batavia Jan Erdman Jordens menerbitkan surat kabar Bataviasche Nouvelles. Surat kabar pertama ini berisi tentang VOC tersebut atau tentang pemerintahan Hindia Belanda saja. Surat kabar Bataviasche Nouvelles meski hanya dapat bertahan dalam tiga tahun saja namun keberadaan sangat berarti bagi perkembangan media pers di Nusantara pada masa berikutnya. Dari sinilah awal munculnya media pers di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan, semua aktivitas di kepulauan Nusantara diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman William Deandels. Pada Hari Jum’at tanggal 5 Januari 1810 ia menerbitkan mingguan Bataviasche Coloniale Courant. Surat kabar yang merupakan media resmi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ini memuat peraturan-peraturan pemerintah dan pemberitahuan lain serta berita-berita dari Eropa. Surat kabar pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih mengisi tentang pemerintahan kolonial tersebut, belum hadirnya para golongan elit adalah salah satu alasannya.
Setiap organisasi memiliki berbagai toa dalam menyampaikan aspirasi, memiliki berbagai cara menarik simpati rakyatnya. Melalui media mereka menyuarakan aspirasi adalah dengan pers, dan itu adalah cara elegant para tokoh elit nasional dalam memperjuangkan bangsa Indonesia.
De Express, merupakan salah satu surat kabar yang diterbitkan di Bandung sejak Tanggal 1 Maret 1912 yang didirikan dan dipimpin oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Ernest F.E Douwes Dekker (Danoedirja Setiaboedhi). Salah satu artikel di dalam surat kabar De Express yang mengecam pemerintahan Hindia Belanda sehingga sang meneer marah ialah “ Als ik een Nederlander was “ yang dimuat pada tanggal 13 Juli 1913 silam.
Yang mana isi dari artikel tersebut ialah “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas kemerdekaannya”. Belanda marah, dan Suwardi Suryadiningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, sang penulis, diasingkan ke Pulau Bangka akibat artikel yang dibuatnya.