Parade Budaya Kemiskinan
Dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadhan ini, saya melewati sebuah antrean mengular panjang. Ternyata antrean orang-orang yang mengantre sedekah. Tiba-tiba seorang di sampingku bertutur:
“Kasus pingsan bahkan meninggalnya orang berburu sedekah, antre BLT, dan rebutan sembako murah semakin sering terjadi. Tampaknya, kemiskinan semakin menjadi semacam parade karnaval yang semakin sering dipamerkan dan dipertunjukkan besar-besaran di negeri ini. Atau, jangan-jangan kemiskinan sengaja dipelihara sebagai alat politik. Sebab, kemiskinan telah lama menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Kemiskinan telah menjadi prasarana yang ampuh untuk menggaet kekuasaan dan popularitas.
Betapa tidak, setiap ada aktivitas publik yang bersinggungan dengan takhta dan kekuasaan, semua atribut wong cilik dan rakyat miskin selalu menjadi bahan propaganda yang amat menjual.
Janji-janji untuk menaikkan derajat kehidupan mereka dan menyediakan jutaan lapangan kerja, misalnya. Namun, janji memang tinggal janji karena pada akhirnya kemiskinan hanya dibutuhkan untuk menggaet kekuasaan, bukannya untuk dientaskan.
Karena itu, kemiskinan semakin mengakar dan menjadi budaya. Budaya kemiskinan berciri fatalistik, meminta-minta, dan selalu berharap bantuan dari pihak lain.
Untuk keluar dari kemiskinan, bangsa ini seharusnya selalu menanamkan semangat dan kerja secara cerdas, bukan sekadar antre bantuan yang bermental pengemis.”
Dan saya termenung… merenungi kapan bangsa ini bermental kaya… hm… bukankah negeri kita negeri yang kaya… hanya patut disayangkan negeri kita salah urus sehingga banyak kemiskinan di negeri subur makmur kaya raya gemah ripah loh jinawi.
Telkomsel Ramadhanku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H