Mungkin inilah saat terbaik untuk kembali suarakan cita rasa persatuan Indonesia di bawah naungan Pancasila. Bagaimana tidak slogan Bhinneka Tunggal Ika itu rasanya hampir musnah pasca reformasi tahun 1998. Quo vadis - nasionalisme tak tampak lagi. Kemanakah rasa kebangsaan dan kebanggaan memiliki Indonesia.
Hampir 20 tahun, entah berapa banyak generasi yang tidak lagi sempat pelajari Pancasila di sekolah, layaknya orde sebelumnya. Kurikulum Pendidikan Moral Pancasila telah dilebur, tidak lagi nyata. Siswa tidak lagi wajib ikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) saat masuk jenjang pendidikan.
Generasi yang kini tumbuh menjadi tunas bangsa seakan tidak lagi mengenal Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Rumusan para pendiri bangsa itu, seakan menjadi barang museum dan tak sejalan lagi dengan kemajuan jaman. Ironis memang, banyak pihak menyesalkan para pejuang demokrasi saat ini tidak lagi mengingat ruh semangat reformasi yang belum genap dua dasawarsa itu.
Selama itu, berbagai gejolak muncul riak kecil seakan menjadi tanda akan kegamangan sebagian warga negara dalam berbangsa. Kemajuan teknologi, menjadikan komunikasi tanpa batas, wilayah dan waktu, konten mengisi dan terus mengalir menjadi pemahaman. Konten tidak lagi bisa dibendung, filter apalagi verifikasi kebenarannya. Degradasi berpendapat seolah mendapat angin segar tanpa melihat dampak dan akibatnya. Ujaran kebencian layaknya angin lembut yang merasuki otak segar generasi muda.
Unjuk rasa tanggal 4 November 2016, menjadi momentum bagi siapapun warga negara ini secara waras ingin mengembalikan cita rasa keragaman sebagai tonggak kedamaian. Umat Islam kembali hadir untuk kesekian kalinya menjadi motor sekaligus garda depan menyuarakan kedamaian di Republik tercinta ini.
Aroma semerbak menghentakan persatuan umat ini bukan sekedar lagi bicara penistaan agama yang dilakukan seorang calon gubernur. Lebih dari itu, mereka melihat arah mulai terjadi pergeseran dari tonggak kemerdekaan. Falsafah kemerdekaan yang dihujamkan dalam ke jantung negeri, lambat laun mulai tercerabut dari akarnya.
Nilai keberagaman yang menjadi kekuatan kesatuan bangsa mulai dipertentangkan. Pemahaman kebangsaan dan keagamaan mulai dibenturkan. Oleh sebagian kecil warganya, negara mulai dibimbangkan dengan pemahaman seakan negara dan agama adalah dua kutub yang saling berseberangan.
Umat Islam, sekali lagi, sebagai umat beragama mayoritas penghuni negeri ini sudah belajar toleran bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Dari leluhur, para pendiri bangsa sangat menyadari akan keberagaman. Budaya yang sangat kental dengan aroma keagamaan tumbuh dalam keberagaman sudah menjadi tradisi dalam kehidupan seharian.
Saat Islam datang ke bumi nusantara ini, agama, aliran dan kepercayaan telah mewarnai kehidupan penduduk kala itu. Penyebaran Islam tidak melalui peperangan, semua berbaur dalam damai. Akulturasi budaya Islam yang rahmatan lil alamin berbaur dengan budaya lokal. Budaya lokal masih berjalan dan hampir tak ada yang dirusak. Candi peninggalan umat Hindu dan Budha tetap terpelihara hingga kini.
Tidak ditemukan dalam buku sejarah manapun, Islam masuk Indonesia dengan kekerasan, peperangan dan paksaan. Bahkan tidak ada kerajaan terjajah, apalagi tergantikan pada wilayah yang sama. Kehancuran suatu dinasti bukan lantaran ekspansi kerajaan Islam.
Di saat penjajahan, kemerdekaan hingga mempertahankan pasca itu, peran umat Islam begitu besar. Tak dapat lagi disebut satu per satu, perjuangan yang dilakukan kaum santri dan ulama untuk mempertahankan negeri ini dari penjajah. Ulama dibawah panji-panji Islam, menerima siapapun tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata yang memiliki misi sama yakni mengusir penjajah.