Kondom gratis yang dibagikan oleh petugas didepan sebuah bus bergambarkan sesosok artis berbusana merah menyala saat itu sontak mengundang berbagai reaksi dari kalangan masyarakat. Mulai dari yang mendukung hingga tak sedikit pula yang menentang dengan keras kebijakan menteri kesehatan saat itu. Terlepas dari pro kontra terhadap program itu, ada hal penting yang terlewatkan esensinya dari tujuan pembagian kondom tersebut yakni pentingnya pendidikan seks bagi anak sejak dini.
Sejak dini? Para orang tua dan pendidik, lantas serta merta mengerutkan dahi mereka saat mendengar kalimat sejak dini. Hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pola pikir yang berkembang di masyarakat bahwa pendidikan seks melulu tentang cara berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan dewasa secara aman. Aman disini maksudnya tidak sampai menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan dengan berbagai alat pencegah kehamilan serta untuk mencegah terjadinya penularan penyakit seksual. Pendidikan seks yang disodorkan lebih kepada mempertontonkan hal-hal yang erotis dan romantis. Yang ditampilkan hanya sebatas perbedaan struktur tubuh antara laki-laki dan wanita serta hanya sebatas masalah anatomi alat kelamin dan fungsinya. Sehingga anak dapat saja malah menjadi terangsang dan terbangkitkan imajinasi seksual yang negatif dalam benaknya.
Lalu timbul berbagai pertanyaan tentang pendidikan seks sejak dini. Bagaimana memberikannya? Kapan waktu yang tepat untuk diberikan pendidikan seks? Siapakah yang pantas memberikannya? Pendidikan seks sejak dini dapat dilaksanakan mulai dari lingkungan masyarakat terkecil yakni keluarga. Pedoman seksual sedini mungkin harus diterapkan pada diri anak. Tentunya dengan penanaman keimanan yang intensif, mendalam dan berkesinambungan.
Beberapa poin penting yang menjadi dasar pendidikan seks pada anak adalah sebagai berikut :
1. 1. Menjelaskan batasan aurat bagi anak laki-laki dan perempuan
Tentu saja penjelasan batasan aurat pada anak-anak tidak berarti seperti seorang dosen yang sedang memberikan kuliah tentang anatomi tubuh manusia kepada mahasiswanya. Namun lebih kepada cara pembiasaan orang tua pada anak-anak untuk memiliki rasa malu apabila auratnya terlihat. Tidak membiasakan mandi bersama, meski dengan saudaranya atau mandi diluar tanpa pakaian saat ayah mencuci mobil dan lain-lain.
2. 2. Mendidik cara berpakaian yang menutup aurat
Setelah anak tertanam rasa malu apabila auratnya terlihat, maka hal yang penting lainnya adalah membiasakan anak untuk berpakaian yang menutup auratnya. Jika ada sebagian orang tua yang menolak dengan anggapan bahwa anak masih kecil, belum baligh dan sebagainya, tentu saja dapat dimengerti. Sebab dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah pola pembiasaannya. Jika anak sudah terbiasa berpakaian menutup aurat, maka pada saat mencapai usia baligh tidak akan mengalami kesulitan untuk berpakaian yang memang seharusnya, sehingga kesadaran tersebut tumbuh dari dirinya sendiri, bukan paksaan dari orangtua atau hanya sekedar kewajiban seragam disekolah.
3. 3. Mengenalkan mahramnya
Dengan mengenal siapa mahramnya, anak diharapkan mampu menjaga dalam pergaulannya dengan orang-orang yang bukan menjadi mahramnya.
4. 4. Memisahkan tempat tidur
Karena kasih sayang orangtua atau karena keterbatasan kondisi ruangan yang tidak memungkinkan seringkali anak tidur bersama orangtuanya. Padahal dengan memisahkan tempat tidur, anak telah dilatih untuk berani mandiri serta menumbuhkan kesadaran akan perbedaan jenis kelamin antara dirinya dengan saudaranya yang lain.
5. 5. Mengenalkan waktu-waktu berkunjung dan tata tertibnya
Ada tiga aturan waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak untuk memasuki ruang yang ditempati orang dewasa, kecuali minta izin terlebih dahulu yaitu pertama, waktu sebelum salat subuh, kedua waktu siang hari (tengah hari), ketiga, waktu setelah salat isa. Pada ketiga waktu tersebut biasanya sering digunakan sebagai waktu istirahat, tentunya terdapat hal-hal yang tidak patut dilihat oleh anak-anak.
6. 6. Tidak tabu berbicara tentang seks dengan anak
Orangtua seringkali terkaget-kaget apabila anaknya tiba-tiba bertanya tentang hal-hal yang berbau seks. Alih-alih menjelaskan, orangtua seringkali marah kepada anaknya sehingga membuat sang anak malas, berhenti bertanya pada orangtua namun tidak mematikan rasa ingin tahunya, sehingga anak mencari informasi lain: teman, internet dan lain-lain yang belum tentu sesuai dengan yang semestinya ia terima.
Demikian pula proses khitan dan ihtilam (mandi basah) bagi anak laki-laki serta datangnya haid bagi anak perempuan merupakan bagian dari pendidikan seks yang akan dilalui oleh anak-anak, oleh karena itu hendaknya orangtua mempersiapkan diri dan anak-anaknya bila saat itu tiba.
Anak adalah titipan Allah yang diciptakan untuk generasi yang akan datang. Maka sudah sepantasnyalah orangtua memberikan bekal kepada mereka. Tidak hanya bekal berupa materi, namun yang terpenting adalah anak dibekali nilai-nilai yang diperoleh dari hasil pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan seks bisa diberikan pada anak dengan cara-cara yang membuat anak menjadi lebih menjaga pergaulan dan memperkuat imannya. Bukan pendidikan seksual yang hanya bertujuan agar hubungan seksual, yakni coitus, memperoleh kenikmatan biologis semata dengan mempertontonkan auratnya. Jika tujuan pendidikan seksual hanya untuk semacam itu, maka itulah yang perlu ditolak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H