Siapa yang hari ini tidak marah pada anaknya? Tiga hari ini? Seminggu ini? Sampai pertanyaan ketiga saya masih belum bisa mengangkat tangan, mengingat hampir setiap hari selalu ada saja alasan saya marah pada anak-anak. Mulai dari aktivitas membangunkan tidur, menyuruh mandi, berpakaian, menyiapkan buku pelajaran, sarapan, hingga saat anak berangkat sekolah bersama ayahnya. Belum lagi saat anak-anak pulang sekolah, bermain, mengerjakan tugas sekolah, gosok gigi, hingga saatnya tidur.
Keinginan untuk memberi yang terbaik untuk anak-anak, serta harapan agar mereka menjadi yang terbaik membuat sebagian orangtua termasuk juga saya sebagai seorang ibu tanpa sadar menetapkan standar yang tinggi pada anak-anak. Ingin mereka menjadi anak yang saleh, maka orangtua menyuruh salat dengan sedikit mengancam saat anak-anak tidak bersegera melaksanakan salat. Dilain waktu ketika hendak melatih kemandirian mereka dalam mengerjakan tugas sekolah, tapi malah mengambil alih tugas yang seharusnya dikerjakan anak-anak agar memperoleh hasil yang bagus dan sempurna menurut versi orangtua. Saat anak malas makan, orangtua marah karena khawatir anak sakit. Alhasil, nyaris tiada hari terlewatkan tanpa amarah.
Para orangtua memahami bahwa marah adalah emosi yang menular. Energi negatif yang ada didalamnya bisa terserap oleh anak-anak. Mereka mencontoh cara orangtuanya berkomunikasi.Berikut beberapa tips sederhana dalam rangka meminimalisir marah pada anak.
1. Membuat catatan pengingat di dinding rumah
Saat keadaan yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Ditambah dengan banyaknya aktivitas orantua yang menyita perhatian. Anak rewel sedikit saja bisa menjadi pemicu rentetan kata-kata dari orangtua yang menyakiti hati anak. Sedikit catatan pengingat di berbagai sudut rumah bisa jadi pengingat untuk tidak marah-marah pada anak, misalnya : JANGAN MARAH, JANGAN MARAH, JANGAN MARAH.
2. Menarik nafas panjang
Menarik nafas panjang sesaat sebelum memuntahkan kata-kata dalam intonasi tinggi dapat meredakan sedikit emosi yang timbul karena anak menolak untuk menghabiskan makanannya. Selain itu, jika marahnya dalam keadaan berdiri maka duduklah, jika dalam keadaan duduk maka berbaringlah, jika masih marah juga, ambilah air wudhu lalu salatlah. Demikian dijelaskan cara menahan amarah pada sebuah hadits.
3. Menghindar dari anak sementara waktu
Ada saatnya orangtua perlu memanfaatkan waktu jeda untuk menahan amarahnya. Saat anak membangkang, tidak menuruti kemauan orangtua mungkin saja karena mereka haus, lapar dan bosan. Tapi orangtua tidak memahami. Oleh karena itu, duduk diam sebentar didalam kamar bisa jadi alternatif bagi orangtua menurunkan tensi tingginya, sebelum kemudian menemui anak kembali dengan wajah sumringah dan segudang pengertian mengapa anak menangis terus.
4. Mengingatkan diri bahwa anak adalah titipan
Tidak adil rasanya jika orangtua yang - kebetulan - berprofesi sebagai pendidik, dapat menampilkan wajah sabar pada anak-anak didiknya disekolah, namun tidak dapat menahan amarahnya jika berhadapan dengan anak sendiri dirumah. Oleh karena itu, penting sekali untuk selalu mengingatkan diri sendiri bahwa anak adalah titipan-Nya. Yang memiliki tentu tidak rela jika titipan-Nya di perlakukan semena-mena oleh orang yang diberi kepercayaan untuk merawat dan memelihara amanah-Nya.
Tidak ada sekolah menjadi orangtua, namun bukan berarti tidak bisa dipelajari. Demikian pula dalam hal pengasuhan anak. Semua orangtua tentu sependapat bahwa anak adalah anugerah. Oleh karena itu, jangan sampai harga diri anak justru dijatuhkan oleh orangtua dirumah dengan disalahkan setiap hari dan dimarahi sehari 3x. Banyak-banyaklah mengingat kebaikan anak yang mungkin saja tertutupi karena harapan orantua yang tidak terpenuhi pada satu hal tertentu. Jika bukan kita, orangtua, lalu siapa lagi? Maka mulailah dari sekarang, dari diri sendiri, jangan ditunda lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H