Kemarahan yang tak dikelola dengan baik.
Pembiasaan dari sejak kecil untuk tidak melawan.
Akhirnya berdampak pada penghukuman diri yang berlebihan.
Menyakiti diri sendiri.
Padahal bukan sepenuhnya salahmu.
Padahal kau sudah meminta maaf.
Kau juga sudah membayar kesalahanmu.
Mungkin orang-orang melihatku seperti orang yang cuek.
Padahal itu hanya manipulasi.
Itu caraku menutupi gejolak emosi.
Caraku melawan diri sendiri.
Tahun ke tahun aku terbiasa dengan cara hidup seperti itu.
Hingga aku tidak sadar ternyata aku telah melukai diri sendiri.
Aku pikir aku baik-baik saja.
Lebih baik diam dan memendam semua kemarahan.
Dari pada harus mengutarakan perkataan yang menyakitkan.
Terus begitu.
Inginku marah, melawan, memaki.
Tapi bagian diriku yang lain selalu berusaha menahannya.
Aku bisa menahan.
Tapi menahan dengan cara yang salah.
Cara yang menimbulkan luka di kemudian hari.
Tak ada yang tau.
Karena semua terjadi di dalam diri.
Yang mereka tau aku bisa tersenyum.
Yang mereka tau aku bisa tertawa.
Tak apa.
Lebih baik begitu.
Apa yang ada di diriku.
Biarlah menjadi tanggung jawabku.
Selebihnya
Ku ucapkan terima kasih.
Terima kasih atas dukungan dan doa yang tak ada henti-hentinya.
Terima kasih atas bantuan waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan yg sudah diberikan.
Kini, waktunya aku berjuang kembali.
Menemukan titik keseimbangan diri.
Agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat di muka bumi.
Juga bisa menjadi insan yang layak mendapat surga Sang Ilahi.
***
Mulyorejo, 20 Februari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H