Ketika seseorang memiliki cita-cita besar dalam hidupnya maka apa yang akan dia lakukan? Apakah dia bermalas-malasan untuk menggapai cita-cita tersebut? Apakah dia mudah putus asa dan menyerah ketika dalam perjalanan mewujudkan cita-cita banyak masalah yang menerpa? Ambilah contoh ketika seseorang SPG Yakult yang biasa berkeliling jalan kaki untuk menawarkan produknya bercita-cita mendapatkan omset penjualan Yakult hingga 1000 pack per hari. Lantas apa yang SPG Yakult ini lakukan untuk mewujudkan cita-citanya? Apakah dengan dia malas-malasan, berjalan kaki leha-leha, banyak istirahatnya, malu menawarkan kepada setiap orang yang ditemui akan membuat dirinya mampu mencetak angka penjualan hingga ke angka 1000 pack per hari? Jelas tidak mungkin terwujud cita-cita si SPG Yakult tersebut
. Lantas apakah mungkin dia akan mampu mencapai angka penjualan 1000 pack per hari jika dia mudah putus asa? jika dia baru menawarkan yakult ke 5 orang dan dari 5 orang tersebut tidak ada yang mau beli kemudian si SPG ini menyerah, tidak lagi berusaha. Apakah dengan begitu dia mampu menjual 1000 pack yakult per hari? Mustahil pastinya. Satu-satunya cara agar cita-cita SPG yakult tersebut terwujud adalah terus konsisten dalam kerja keras untuk menggapai cita-citanya.
Satu-satunya cara agar kita mampu menggapai impian kita adalah dengan konsisten memperjuangkan cita-cita kita. Dan hal tersebut adalah sebuah keniscayaan karena hal ini telah dibuktikan oleh seroang pemuda miskin yang berprofesi sebagai tukang siomay keliling di Bandung. Ternyata dibalik hingar bingar kemewahan yang merajalela di Bandung masih ada lho segelintir orang yang tetap berjuang walaupun dalam kondisi keterbatasan. Amat sangat terbatas.
Salah satunya adalah seorang pemuda bernama Asep Suhendar Saefulloh. Siapakah dia? Dia adalah seorang penjual siomay miskin yang tiap hari berkeliling untuk menjual siomay demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun dengan kondisinya yang serba terbatas, Asep masih mampu mendirikan Rumah Pelangi. Rumah Pelangi adalah sanggar pendidikan di lingkungan rumahnya yang belokasi di Kampung Sindangsari, Kel. Manggahang, Kec. Baleendah, Kab. Bandung. Disanalah Asep mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak-anak yang kurang mampu atau dikenal dengan istilah prasejahtera. Disanalah Asep mengajarkan ilmu kebumian, ilmu bahasa, ilmu pengetahuan sosial juga kesenian bagi anak keluarga prasejahtera.
Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, Asep tetap konsisten memperjuangkan cita-citanya membuat sanggar pendidikan dari keringatnya sendiri dengan berjualan siomay. Disini, ada satu keinginan besar dalam diri Asep yang mampu membuat dirinya mampu menerobos keterbatasan yang ada. Ya hanya satu, dia ingin menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi anak-anak yang kurang mampu di sekitar lingkungannya. Sehingga walaupun setiap hari Asep harus menyesihkan uang Rp 150.000 dari penghasilan berjualan siomay Rp 200.000 per hari untuk membayar kontrakan yang dijadikan sebagai Rumah Pelangi, hal tersebut tak mengapa bagi Asep. Keterbatasan dana tidak menjadi alasan bagi Asep untuk diam tak berkarya, karena dia memiliki cita-cita besar.
Perjuangan Asep yang konsisten untuk mendirikan Rumah Pelangi sejak tahun 2012 hingga saat ini alhamdulillah mampu memberikan setitik perubahan bagi masyarakat Kampung Sindangsari. Sampai saat ini ada sekitar 50 anak yang menimba ilmu di Rumah Pelangi gratis! Berkat konsistensi Asep dalam memperjuangkan cita-citanya, 50 anak tersebut kini mampu mengenyam pendidikan dan memiliki kemampuan dibidang kesenian. Dan bantuan dari Pemerintah beserta komunitas lain pun perlahan mulai mengalir untuk keberlangsungan Rumah Pelangi.
Melihat betapa luar biasanya perjuangan Asep ini mengingatkan saya pada sebuah quotes “When there is a will, there is a way.” Ya dimana ada keinginan disitu ada jalan. Artinya dimana ada cita-cita besar yang ingin diraih atau diwujudkan maka disitu ada jalan pula untuk meraih cita-cita besar tersebut. Dan jika kita sejenak merenungi lalu coba membandingkan diri kita dengan Asep, sudahkah kita berjuang sekeras dan sekonsisten Asep untuk mewujudkan cita-cita besar kita? Padahal mungkin bisa dikatakan kondisi kita jauh lebih beruntung daripada Asep. Maka masihkah kita beralasan untuk tidak konsisten berjuang mewujudkan cita-cita kita?
Dari kisah ini mungkin ada sedikit curahan hati yang ingin saya sampaikan..
Untukmu yang masih di bangku sekolah dan kebutuhan hidup masih dibiayai oleh orangtua, jika dirimu mulai mengeluh dalam kesulitan memahami pelajaran ingatlah cita-cita besarmu. Janganlah mudah mengeluh dan putus asa karena cita-cita akan hanya bisa diraih dengan perjuangan yang keras!
Untukmu yang memegang status mahasiswa, apa karya yang telah kau berikan bagi bangsa ini? Apakah sudah belajarmu kau arahkan untuk mencapaiz cita-citamu? Atau bahkan masa kuliahmu kau habiskan dengan main-main saja tanpa mengukir karya untuk berikan setitik perubahan?
Untukmu yang sudah berkeluarga. Janganlah jadikan faktor usia sebagai penghambat dan alasan untuk tidak berkarya wahai Tuan dan Nyonya...
Berkacalah pada Asep, kawan.
Sungguh, kita yang lebih beruntung dari Asep harusnya malu dan cemburu. Kita yang tidak dalam kondisi keterbatasan harusnya bisa lebih konsisten berjuang menciptakan karya seperti Asep untuk mewjudukan cita-cita kita! Janganlah mudah putus asa walau nanti akan ada banyak ombak badai yang menerjang dalam perjalanan mencapai cita-cita. Ingatlah kembali “When there is a will, there is a way.” Teruslah berjuang dan konsisten dalam menggapai cita-citamu. Cita-cita yang mengantarkanmu pada kebahagiaan yang abadi.
Semoga kita mampu mengambil pelajaran dari kisah hidup Asep 😊
Sumber: Koran Pikiran Rakyat Edisi 26 November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H