Mohon tunggu...
Tenni Purwanti
Tenni Purwanti Mohon Tunggu... Wartawan -

Jurnalis | penulis | feminis |

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Angel Lelga dan Keterwakilan Perempuan

18 Januari 2014   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316626" align="alignnone" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption]

Beberapa hari terakhir, media sosial cukup ramai membincangkan seorang calon anggota legislatif perempuan dari partai PPP yakni Angel Lelga Anggreyani (yang lebih dikenal dengan Angel Lelga – selanjutnya saya sebut AL saja). Namanya dibicarakan usai muncul di acara Mata Najwa Metro TV. Saya rasa tak perlu lagi saya ulas di sini apa saja yang membuat perempuan yang belakangan berkerudung ini kemudian di-bully media sosial hingga akhirnya juga muncul di media-media massa online. Video wawancaranya sudah menyebar di youtube, plus ulasan-ulasan di berbagai media tersebut.

Yang akan saya sorot di sini adalah soal ancaman keterwakilan perempuan di parlemen dengan kehadiran caleg seperti AL ini. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.  Pasal 56 ayat 2 menyebutkan bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan.  Poin-poin tersebut  dikuatkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2013 pada Pasal 11b,11d, 24 ayat 1c-d dan ayat 2.

Aturan ini cukup memberi ruang bagi perempuan untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Namun yang menjadi soal adalah bagaimana partai-partai politik merekrut kader perempuan yang kompeten. Memang, jumlah perempuan yang meraih kursi di parlemen nasional dan lokal pada Pemilu 2009 mengalami kenaikan dibandingkan 2004. Pada periode 2004-2009 ada 63 perempuan anggota parlemen (11,45%) di tingkat nasional. Pada periode 2009-2014 jumlahnya naik menjadi 101 perempuan (17,9%). Namun di tingkat provinsi pada periode 2009-2014 rata-rata presentase perempuan adalah 16 persen, lebih rendah dibanding tingkat nasional. Di tingkat kabupaten/kota persentasenya bahkan hanya 12 persen. Ini menunjukkan persentase keterwakilan perempuan masih jauh dari kuota 30 persen. Bagaimana dengan periode 2014-2019 mendatang?

Dalam seminar publik tentang representasi politik perempuan: Rancangan UU Kesetaraan dan Keadilan Gender di Jakarta, Rabu (16/1/2013), Chusnul Mar'iyah, akademisi FISIP UI mengatakan masyarakat perlu tahu visi-misi setiap partai politik untuk periode 2014-2019. Apakah masalah-masalah perempuan menjadi bagian dalam program kerja partai tersebut. Ia menyebutkan, pernah mempelajari program kerja satu partai politik tertentu dan tidak menemukan satu kata pun yang menyebutkan soal perempuan.

Hal ini membuat saya miris ketika mendengarnya. Bagaimana partai politik bisa serius mencari kader bahkan caleg perempuan yang kompeten, jika masalah perempuan bukan menjadi bagian dari program kerja? Jangan-jangan partai politik mengusung caleg perempuan sekadar untuk memenuhi kuota, bukan betul-betul peduli terhadap masalah perempuan. Sehingga, caleg yang diusung lebih diproritaskan kaum selebritas atau yang sudah terlanjur dikenal masyarakat, tanpa peduli dengan kompetensinya, hanya demi meraup suara.

Kecurigaan saya sedikit  terbukti saat melihat caleg bernama AL ini. Saat ditanya soal Perda Syariah, ia bahkan tidak memiliki pandangan pribadi. Soal pandangan partai, wajar lah jika ia menjawab menunggu ungkapan langsung ketua partainya. Tapi sebagai perempuan, calon anggota legislatif pula, seharusnya ia punya pandangan pribadi soal perda-perda syariah ini. Apakah ia setuju atau tidak setuju? Kalau setuju, apa alasannya? Begitu pula sebaliknya. Jika tidak setuju, apakah ia bisa menjamin tak akan ada perda yang mengatasnamakan syariah di dapil (daerah pemilihan)-nya nanti, jika ia terpilih. Pertanyaan Najwa seharusnya merupakan ‘lahan kampanye’ mujarab bagi AL untuk menyampaikan pandangan politiknya, sikap kritisnya, sehingga konstituennya merasa perlu menjadikannya “wakil”.

Sayang, AL buta masalah utama yang dihadapi perempuan Indonesia: tingginya angka kematian ibu, meningkatnya angka infeksi HIV/AIDS, tingginya pelanggaran HAM terhadap pekerja migran perempuan, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Ia malah berbicara berputar-putar soal pertanian, ekonomi, yang tidak jelas fokusnya ke mana. Padahal, jika ia tahu angka kekerasan rumah tangga di dapilnya saja, mungkin dia bisa terlihat sedikit cerdas. Atau, misalnya, ia menyorot perda yang diskriminatif terhadap perempuan di dapilnya (jika ada), mungkin ia bisa mendapat simpati konstituen. Sayang, perempuan yang mendapat “kehormatan” berada di nomor urut satu tersebut, benar-benar tidak mengerti posisi strategisnya untuk bisa memperjuangkan perempuan.

Kalau sudah begini, perempuan juga yang dirugikan. Yang paling saya takutkan adalah adanya generalisasi bahwa perempuan tidak mampu berpolitik, jika yang ditampilkan oleh partai adalah melulu sosok seperti AL. Jika perempuan sudah dianggap tidak layak berpolitik, maka panggung politik akan kembali diisi oleh laki-laki, dengan kebijakan-kebijakan yang tidak peka soal gender. Perda-perda yang diskriminatif terhadap perempuan akan terus ada, tanpa bisa dicegah, karena minimnya keterwakilan perempuan di pemerintahan. RUU kesetaraan dan keadilan gender akan semakin lama diketok palu, sebab tidak ada yang merasa perlu memperjuangkannya.

Ramainya perbincangan soal AL seharusnya menjadi tamparan, tidak hanya bagi partainya tapi juga partai lain yang melenggang di 2014 untuk memikirkan sistem pengkaderan. Masyarakat Indonesia saya rasa sudah mulai cerdas. Kesalahan memilih kader bisa jadi akan menghancurkan kredibilitas partai Anda sendiri.

Soal AL ini sekaligus juga tamparan bagi perempuan-perempuan Indonesia yang merasa kompeten untuk berani maju mencalonkan diri dan memilih partai yang tepat. Rasa percaya diri perempuan bahwa dirinya mampu, juga harus tumbuh agar perempuan berani bicara di ruang publik. Meski ini akan menjadi jalan panjang, tetapi jika bukan Anda-Anda yang bergerak, maka perempuan seperti AL-lah yang akan menggunakan lahan politik yang seharusnya menjadi tempat Anda untuk bersuara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun