Mohon tunggu...
R'ainy Yusuf
R'ainy Yusuf Mohon Tunggu... -

beragam pengalaman mengantarkan ke kehidupan saat ini. ternyata harus terus belajar, belajar dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Rembulan Kesepian

7 September 2013   15:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:13 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara berdegar ketika aku menendang pintu kamar. Di tepi ranjang, istriku menyusut airmatanya. Bayi kami yang baru berusia lima bulan menangis kencang. Mungkin ia terkejut dengan suara ribut di sekitarnya.
Pintu rumah menutup dengan hempasan kuat. Aku berdiri di depan pintu rumah petak. Beberapa tetangga yang tadi melongok lewat pintu atau jendela, beringsut masuk begitu melihatku. Kasak-kusuk terdengar beberapa saat lalu hening. Aku menghembuskan asap rokok kuat-kuat. Rasa pusing akibat pengaruh minuman keras sore tadi, coba kulawan dengan menyedo asap nikotin itu dalam-dalam. Sampai pipiku terasa saling bersentuhan di dalam mulut.
Aku mendongak ke angkasa. Sepotong rembulan kesepian tanpa bintang bergelayut di balik bayang-bayang pepohonan. Bulan yang sama dengan berpuluh bahkan beribu tahun lalu. Bulan yang menemani masa kanak-kanakku bermain petak umpet bersama teman-teman. Bulan yang mengiringi langkahku mengaji ke surau di tengah desa. Bulan yang sama juga yang menerangi wajah Mira, kekasihku ketika kami memadu kasih di bawah pohon cemara di dekat balai desa. Bulan yang tetap seperti dulu.
Melewati warung minum yang biasa buka hingga pagi, aku berlindung pada bayangan gelap pohon-pohon. Sayup-sayup terdengar suara musik ditingkah lagu-lagu tanpa syair. Ucapan asal-asalan bahkan tak senonoh dari mulut orang-orang yang mabuk berat atau setengah mabuk di warung itu. Ada Zainal, Ujang, Koko, Jumari dan entah siapa lagi.
“ Jack, sini!” sebuah suara memanggilku dari kegelapan.
Padahal aku malas bertemu dengan siapa-siapa. Kukecilkan pupil mata untuk melihat orang yang memanggilku.
“Apa, Ri?” tanyaku begitu mengenali si empunya suara.
Heri berdiri di bawah kegelapan pohon sambil menggenggam sebuah botol.
“Ayo kita minum!” ajaknya, lalu membuka botol dengan giginya.
Aku tidak tertarik. Walaupun si ‘topi miring’ mungkin lebih nikmat daripada tuak aren, malam ini aku sedang tak ingin menikmati minuman setan itu.
Sambil melambaikan tangan, aku meneruskan langkah. Sesekali sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang berkelebat menerpa wajahku. Aku sengaja mengangkat kerah baju hingga menutupi sebagian wajah. Saat ini aku tak mau bertemu dengan siapa pun.
Sesampai di depan sebuah rumah batu bercat kuning, aku berbelok ke dalam pagar. Tanpa mengeluarkan suara aku berjalan ke belakang rumah. Di bawah sebatang pohon coklat ada sebuah bangku panjang. Aku duduk berselonjor kaki. Kuhirup asap rokok untuk kesekian kali. Dalam-dalam. Lalu melepaskan asapnya pelan-pelan ke udara. Sesekali kuhembuskan asapnya kuat-kuat untuk mengusir rasa gundah. Sepotong rembulan kesepian masih berkelana di angkasa.
Hampir dua tahun aku menikahi Mira. Wanita yang kini menjadi istriku itu berwajah lembut dan teduh. Tutur katanya selalu menenteramkan. Dia tak pernah banyak menuntut walaupun aku lebih sering pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Dua tahun hidup berumah tangga seharusnya aku merasa lebih tenteram. Tapi aku selalu merasa diburu. Perasaanku sering was-was. Aku selalu curiga. Curiga pada istriku, bila dia merasa tak bahagia. Curiga bila ada rasa sesal di hatinya karena telah memilihku. Curiga bila istriku masih menyimpan mimpi-mimpi bersama orang lain. Juga kecurigaan-kecurigaan lain yang mungkin tanpa alasan sama sekali. Dan semua itu selalu membuatku marah tanpa sebab. Terlebih bila otakku dipengaruhi minuman keras. Bahkan aku juga menggunakan beberapa obat-obatan. Tentu saja istriku tak pernah tahu. Mira terlalu lugu bahkan boleh disebut naif, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya diriku, suaminya. Aku yakin dalam kurun dua tahun pernikahan kami plus dua tahun berpacaran, dia hanya tahu aku seorang lelaki jalanan tanpa pernah tahu batas ‘pergaulan jalanan’ku itu.
“Ayo kita makan, Yah,” ajaknya padaku tadi.
Dia tak peduli aku pulang dalam keadaan sempoyongan atau setengah sadar. Dia tetap menyambutku dengan kehangatan yang sama seperti dulu. Seolah segalanya tetap berjalan normal. Tapi otakku yang separuh dipengaruhi minuman keras hanya menanggapi sinis semua kata-katanya. Tatapan matanya yang lembut, serasa menuduhku karena tak mampu membawakan segepok uang dalam genggaman. Dan begitu saja amarahku langsung timbul. Membadailah segala isi meja dan sempat pula tanganku melayang ke pipinya yang halus. Putri kecil kami terbangun dan menangis keras. Dan aku yakin suara piring dan gelas yang berhamburan membuat tetanggaku, yang hanya berbatas dinding tepas, terjaga.

Dan disinilah aku sekarang. Di halaman belakang rumah orangtuaku. Duduk sendirian memandangi sepotong rembulan yang kesepian. Mencoba bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya yang kucari?
Entah sudah berapa lama aku duduk mencangkung sendiri di sini. Rasa kantuk mulai menyerangku. Tetapi godaan nyamuk-nyamuk yang berdenging-denging di telinga menghalangi mata terpejam.
Sambil bangkit kuregangkan otot-oto tubuh yang terasa kaku. Kusambar bungkus rokok yang tinggal berisi sebatang. Kuselipkan batang rokok terakhir itu ke bibirku dan meremas bungkusnya. Setelah menyedot dalam-dalam rokok terakhir itu, aku melangkah pulang. Sepotong rembulan kesepian menemaniku dari balik awan.

Suara azan baru saja berkumandang saat aku baru rebah di tempat tidur.gemericik air terdengar dari kamar mandi. Istriku sedang berwudlu. Di sebelahku, putri kecil kami mendengkur halus lalu menggeliat manja. Menggemaskan.

Sebenarnya aku sorang lelaki yang beruntung. Tapi mengapa hatiku masih terus mencari jawab yang tak kupahami?

Sepotong rembulan kesepian masih bertengger di cakrawala. Terlihat samar dari celah-celah atap kontrakanku yang berlubang. Sebelum kantuk benar-benar melenakanku, masih sempat ku lihat bintang kecil tak jauh dari rembulan itu. bulan itu tak lagi kesepian. Dan aku pun terlena di alam mimpi.

Kotapinang, 25 Januari 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun