Mohon tunggu...
R'ainy Yusuf
R'ainy Yusuf Mohon Tunggu... -

beragam pengalaman mengantarkan ke kehidupan saat ini. ternyata harus terus belajar, belajar dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dree, Sebutir Air di Bunga Ilalang Berkilauan di Rambutnya

7 September 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:13 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cericit burung-burung kecil dari tengah persawahan membuat suasana di tepi sungai itu terasa damai. Pemandangan hamparan padi di seberang sungai benar-benar indah. Gemericik air dari dasar lembah jadi hiburan lembut di telinga. Hampir setengah jam Rainy dan Dree berjalan menyusuri tepi sungai yang terletak di kaki bukit Barisan ini. Mereka berada di pinggir huma yang baru saja usai di panen. Disana-sini terserak batang-batang singkong. Aroma tanah lembab tercium bersamaan tercabutnya batang-batang singkong.
Dari kejauhan terdengar suara bergemuruh.
“Suara apa tuh?” tanya Rainy.
“Air terjun,” jawab Dree.
Tanpa canggung Dree meraih pergelangan tangan Rainy dan membimbingnya agar lebih mendekat ke bibir sungai. Tangannya menyibak rumput ilalang yang menghalangi langkah mereka. Dan sampailah keduanya ke tepi jeram. Tepatnya dam buatan yang mengalirkan air dari beberapa celah besar di tengahnya. Beberapa lelaki menebar jala di sepanjang tepian sungai di bawah jeram itu. Dari tempat Rainy berdiri, para lelaki itu terlihat begitu kecil.
“Kita lanjut yuk,” ajak Dree. Suaranya terdengar sayup diantara deru air.
Rainy tak menjawab. Tapi langkah kakinya beranjak menjauh dari bibir tebing sungai menjawab ajakan Dree.
Sekarang mereka berjalan di tengah padang ilalang. Bunga-bunga rumput ilalang itu berguguran tertiup angin dari puncak bukit. Sesekali terdengar tawa Rainy yang iseng menebarkan bunga ilalang itu ke rambut Dree. Berlarian mereka saling kejar. Terkadang bunga ilalang itu bertebaran melanda wajah Rainy hingga ia terbatuk-batuk. Gelak tawa Dree memecah kesunyian di tengah padang ilalang itu. Suatu ketika, Dree menyuruh Rainy diam.
“Ssstt....,” bisiknya.
Jari telunjuknya dilekatkan di bibir Rainy. Lalu dia menengadah dan menunjuk ke ujung dahan sebatang pohon yang sudah lapuk. Rainy ikut-ikutan menengadah tanpa tahu maksudnya.
“Apa itu?” bisik Rainy.
“Ular,” balas Dree dengan berbisik pula.
Keduanya lama menengadah memandangi sebuah benda di ujung dahan yang menurut Dree seekor ular.
“Kok nggak bergerak?” bisik Rainy lagi.
“Ssstt...” bisik Dree.
Perlahan keduanya beranjak dari tempat itu.
Aroma tanah lembab tercium masih segar. Beberapa wanita dan pria yang baru usai bekerja tengah beristirahat tak jauh dari sana. Hujan rintik-rintik turun bersamaan dengan Rainy dan Dree menapakkan kaki di bawah sebuah gubuk tua. Lama keduanya terdiam menunggu hujan reda. Titik-titik air yang jatuh dari atap gubuk yang sudah mulai lapuk menciptakan irama mistis membuat sekitar kian memesona. Dan senyap.
“Rambutmu basah,” kata Dree memecah kesunyian.
Rainy hanya tersenyum. Butir-butir air juga membasahi rambut Dree. Sisa bunga ilalang masih ada yang tertinggal di rambut Dree. Dan butir air yang terperangkap di sana bersinar seperti sepasang bola mata Dree. Berkilauan. Mewakili kilau hati yang dirasakan Rainy setiap berdekatan dengan Dree.
Sudah hampir seminggu Rainy berada di desa ini. Desa di kaki bukit. Di tepi sungai Bahbutong di pinggir kota Pematang Siantar. Dan di desa inilah Rainy mengenal Dree. Lelaki bertubuh tinggi gagah dan berkulit gelap itu tinggal di sebelah rumah paman Rainy. Waktu Rainy sedang mandi di sungai, di belakang rumah pamannya, sesuatu tiba-tiba terhempas di tengah sungai. Suaranya berdebur . Sesosok tubuh segera muncul bersamaan dengan riak air yang berpusar. Hampir saja Rainy mengeluarkan kata-kata umpatan waktu menyadari sosok itu seorang pria. Tapi waktu melihat wajah jenaka dan kilau ramah di mata pemuda itu, Rainy terdiam.
Namun tak urung dia bergegas meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa dibawanya seluruh peralatan mandi dan pakaian yang rencananya hendak dicuci.
“Hei, tunggu...!”
Sebuah suara menghentikan langkahnya. Rainy menoleh. Pemuda yang tadi jatuh ke sungai. Dengan langkah-langkah panjang pemuda itu berjalan ke arahnya.
“Maaf kalau aku membuatmu takut. Tapi aku tak bermaksud mengagetkanmu,” ujarnya sambil tersenyum ramah.
“Namaku Dree,”katanya tersenyum lebar. Tangannya terulur.
Ragu-ragu Rainy menyambut tangan pemuda itu.
“Kamu tinggal di rumah di dekat tebing sungai itu, kan?” tanya pemuda itu lagi. Senyum masih menghiasi bibirnya.
Rainy menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Aku tinggal tak jauh dari situ. Rumah bercat biru dua rumah dari tempat tinggalmu,” jelas Dree.
“Aku tinggal di rumah pamanku,” jawab Rainy akhirnya.
“Ooo...” Dree mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ngapain tadi kamu bergelantungan di tengah sungai?” akhirnya Rainy tak tahan untuk bertanya.
“Aku mau ke kolam ikan di sana,” telunjuk Dree mengarah ke seberang sungai.
“Ma’af, aku tidak bermaksud mengagetkanmu,” ulang Dree.
“Gak pa-pa. Aku udah selesai kok,” jawab Rainy.
Beriringan keduanya meninggalkan tepian sungai. Sesekali lengan kekar Dree menyibak rerumputan yang menghalangi jalan.
Sesampai di depan rumah, Dree berjanji akan mengajak Rainy ke kolam ikan di seberang sungai itu. saat pemuda itu berlalu, Rainy sempat melihat kilauan air di rambut Dree. Secemerlang kilau di mata Dree, pemuda yang baru saja dikenalnya.
***
“Jadi nyebrangnya pake itu?” tanya Rainy.
“He-eh,” jawab Dree, “aku duluan, nanti aku bantu kamu di seberang,” katanya lagi.
Sejenak Rainy ragu untuk naik ke atas benda itu. Hari ini Dree menepati janjinya mengajak Rainy ke kolam ikan milik keluarganya di seberang sungai. Untuk mencapai tempat itu tak ada jembatan. Jika dengan menggunakan perahu juga tak mungkin karena aliran sungai begitu deras. Dan jalan satu-satunya adalah sebuah kerekan bekas timba sumur yang di tautkan pada sebuah tambang melintasi sungai dan diberi sebilah papan pendek sebagai tempat duduk. Mirip permainan ‘flying fox’. Tapi yang ini melintasi sungai berarus deras dengan ketinggian lebih kurang sepuluh meter. Wah....
“Ayo,” seru Dree dari seberang sungai. Suaranya timbul tenggelam oleh suara arus deras.
Rainy ragu-ragu. Tapi tatapan mata Dree dan ketangkasannya menyebrangi dengan ‘flying fox’ made in Siantar itu membangkitkan kepercayaan dirinya kembali. Perlahan-lahan dia mulai naik dan huupp.... Rainy memejamkan mata ketika meluncur di atas sungai. Tangannya memegang erat-erat tali rafia yang jadi pengikat bilah papan yang didudukinya. Hingga sepasang lengan kekar menangkap tubuhnya begitu kakinya mendarat di atas tanah.
“Oke, kamu boleh membuka mata sekarang,” ujar Dree sambil tetap memegangi kedua lengannya.
Sedikit gemetar Rainy ketika membuka kedua matanya perlahan-lahan. Mula-mula yang tampak senyum lebar Dree, lalu terdengar desau pepohonan, dan desir air yang beradu cepat menuruni tebing sungai.
“Ayo! Jangan bengong aja di situ,” seru Dree yang sudah melompat ke tengah kolam.
Kolam ikan itu sudah surut airnya. Sejak pagi tadi pintu air sengaja di buka sebab ikan-ikan itu sudah siap untuk dipanen. Ayah dan kakak Dree, Mas Tri, sudah sejak tadi berada di sana. Mereka hanya tersenyum saja memandangi Rainy yang masih shock dengan pengalaman menaiki ‘flying fox’ ala Siantar itu.
“Rai...!” teriak Dree dari tengah kolam sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Rainy terperangah melihat ikan mas seukuran bayi di tangan Dree. Cepat-cepat gadis itu menyusul Dree. Dan dia telah melupakan dramatisnya penyeberangan ‘flying fox’ itu.
***
“Sampai bertemu lagi, Dree,” bisik Rainy pelan.
Dree tidak menjawab. Pemuda itu tahu sebentar lagi Rainy akan kembali ke kampung halaman. Seminggu terasa singkat semenjak mereka bertemu dalam episode jatuhnya Dree di tengah sungai.
Pagi ini Dree mengantar Rainy ke stasiun bus di simpang jalan. Ada sesuatu yang hampir tanggal dari hati pemuda delapan belas tahun itu. Selama seminggu bersama gadis di depannya, Dree merasa ada hal yang baru muncul di hatinya. Selama ini Dree selalu canggung bergaul dengan lawan jenis. Tapi Rainy, terasa seperti bagian dirinya yang telah lama ia kenal.
Beberapa saat kemudian Rainy telah berada di dalam bus antar kota yang akan membawanya kembali.
“Libur semester depan, aku yang akan berkunjung ke tempatmu. Boleh?” tanya Dree sesaat sebelum Rainy naik.
Gadis itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Dari balik kaca jendela, bayang Dree terlihat kian menjauh. Namun Rainy masih sempat melihat sebutir embun jatuh ke rambut Dree. Butiran air itu berkilauan, seperti kilauan di mata Dree.

Diselesaikan 4 September 2013, 20.34 di Kotapinang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun