“Rainy!”
Rainy celingukan di tengah halaman sekolah mencari suara yang memanggil namanya. Asalnya dari kantor guru. Padahal Rainy sudah bergegas untuk sampai ke gerbang depan agar bisa secepatnya bertemu dengan seseorang. Matahari pukul sepuluh pagi mulai terik. Rainy menyipitkan mata ke arah asal suara.
“Rainy, sini sebentar!”
Sekarang sudah kelihatan si empunya suara. Pak Yanto, guru olahraga berambut kriwil dan bertubuh tambun, berdiri di depan pintu kantor guru sambil melambaikan tangannya.
Dengan menggerutu dalam hati Rainy bergegas menghampiri PakYanto, guru kesayangannya itu. Biasanya Rainy senang bila Pak Yanto memanggilnya, tapi tidak kali ini. Waktu istirahat yang sudah ditunggu-tunggunya untuk bertemu dengan seseorang. Terpaksa niatnya tertunda.
“Ada apa, Pak?” tanya Rainy.
Wajahnya dibuat seramah mungkin agar tak terlihat bete.
“Tolong kamu belikan Bapak permen Relaxa di kantin depan ya!” ujar Pak Yanto sambi mengulurkan selembar lima ribuan.
Pak Yanto sedang berusaha mengurangi kebiasaan merokok. Sebagai gantinya beliau selalu jajan Relaxa. Rainy tahu hal itu karena sering melihat Pak Yanto ngemut permen sambil mempraktekkan gerakan-gerakan olah tubuh di lapangan. Dan sebagai imbasnya Pak Yanto jarang ngebul, padahal biasanya seperti lokomotif.
Rainy mengambil uang itu tanpa berkata apa-apa. Secepatnya hingga setengah berlari dia menuju ke gerbang depan. Kantin sekolah yang terletak di sudut depan sekolah memang menjual aneka jajanan. Segera Rainy mengambil permen Relaxa, menghitung sendiri seharga lima ribu dan berlari ke arah kantor guru.
“Ini permennya, Pak!”
“Letakkan di atas meja Bapak!” ujar Pak Yanto sambil berlalu ke kamar mandi.
“Tolong sekalian ambilkan teh manis buat Bapak ya, Rainy,” Pak Arto berkata tanpa mengangkat wajahnya dari tumpukan tugas siswa yang sedang dikoreksinya.
“Ibu juga mau, Rainy,” ujar Bu Sibuea, guru kesenian, sambil meneruskan mengobrol dengan Bu Sihombing, guru Bahasa Indonesia di kelas Rainy.
Dan beberapa guru juga memesan teh manis. Biasanya mereka menuang sendiri teh manis yang sudah tersedia di meja kecil di sudut ruang guru ini. Tapi mungkin hari ini adalah hari menyuruh Rainy atau hari apes Rainy, maka dengan bersungut dalam hati dia menata gelas di atas nampan dan mengedarkannya ke semua guru yang tadi meminta teh manis.
Sambil berjalan keluar kantor guru dia melirik jam dinding besar yang tergantung di atas pintu. Lima menit lagi waktu istirahat habis. Berlari-lari dia menuju ke dekat pintu gerbang tempat tukang es krim langganannya, eh bukan hanya dia, langganan mereka semua, mangkal.
“Es krim satu, Bang,” katanya sambil tersenyum.
Tukang es krim itu mengangguk sambil balas tersenyum pula. Tangannya sibuk melayani anak-anak lain yang sudah lebih dulu berebutan membeli es krim. Macam-macam ulah mereka. Ada yang sambil cubit-cubitan, saling ejek, bahkan saling sindir dengan teman-temannya. Rainy tak memedulikan mereka. Dia lebih suka memandangi tangan penjual es krim yang bergerak mekanis seperti memiliki mata. Tapi yang terpenting dia tak mau moment berdekatan dengan penjual es krim ini terganggu.
“Teeett....teeeettt......teeett.....”
Tepat saat gilirannya mendapatkan es krim, bel berbunyi dengan kejam.
“Wah sudah bel, dek. Nanti saja istirahat kedua, ya,” kata-kata tukang es krim itu membujuk di telinga.
Rainy serasa di awang-awang. Keinginan makan es krim terpaksa ditahannya. Rainy mengangguk malu-malu dan berlalu dari sana.
“Heran, biasanya kalau ibu kantin yang bilang sudah bel kamu malah mencak-mencak Rai, ‘urusan perut nomor satu’ begitu selalu kamu bilang, walaupun akhirnya sering dijewer Pak Arto gara-gara terlambat masuk kelas,” celetuk Lasfita, sahabatnya yang tahu-tahu sudah menggandeng tangannya dari belakang.
Hhuuuhh, mengganggu konsentrasi orang lagi menikmati es krim, eh senyum penjual es krim aja, gerundelnya dalam hati.
Rainy tak menjawab perkataan Lasfita. Berlari-lari mereka menuju kelas sebab dari jauh terlihat langkah Pak Arto yang panjang-panjang seperti berburu dengan waktu.
Penjual es krim itu baru dua minggu mangkal di depan sekolah. Posisi gerobak es krimnya sengaja dibuat dekat dengan pagar sekolah sehingga para siswa bisa jajan es krim tanpa keluar gerbang pagar.
Semua teman-teman tahu Rainy penggemar es krim. Biasanya sepulang sekolah mereka pesta es krim dulu di ujung jalan depan sekolah, baru kemudian bubar menuju rumah masing-masing. Tapi sejak dua minggu ini kebiasaan itu berubah. Semenjak kehadiran penjual es krim di gerbang depan.
Tapi yang paling membuat Rainy kesengsem untuk selalu menikmati es krim itu adalah penampilan penjualnya. Penjual es krim itu seorang pria muda. Kalau menilik penampilannya usianya paling sebaya dengan kakak Rainy yang duduk di kelas dua SMA. Pakaiannya selalu rapi. Padanan kaos dengan celana jeans senada dan tak ketinggalan kemeja yang kancingnya dibiarkan terbuka. Sepatu kets membalut kakinya membuat dia seperti anak kuliahan saja. Wajahnya jangan ditanya. Kenal Barry Prima, bintang film tahun delapan puluhan? Nah ini mungkin fotokopinya. Tinggi atletis berkulit putih. Rambutnya sengaja dibiarkan panjang melewati tengkuknya. Sepasang alis tebal menaungi mata setajam elang yang selalu membuat Rainy ketar-ketir kayak waktu di suruh mengerjakan soal-soal fisika sama Ibu Farida Lubis. Tapi ketar-ketair yang ini bikin dia ketagihan, hehehe...
Sebenarnya bukan hanya Rainy yang kesengsem sampai belingsatan sama tukang es krim itu. Semua siswa puteri sudah jadi korban pesona penjual es krim yang hingga saat ini belum ada yang tahu namanya itu. Tapi bagi Rainy, tukang es krim itu begitu istimewa karena dia merasa selalu dapat perhatian lebih darinya.
“Yang coklat kan, Dek?’ tanya si penjua es krim sambil mengambil roti, membelahnya dan mengolesinya dengan es krim coklat kesukaan Rainy. Rainy merasa istimewa karena si penjual es krim langsung hapal dengan seleranya. Dan diam-diam Riny jadi ge-er karena merasa si penjual es krim itu punya perhatian khusus padanya.
***
Sudah dua hari ini Rainy puasa jajan es krim karena si penjual es krim itu sudah dua hari pula nggak nongol di gerbang sekolah. Bukan hanya Rainy yang merasa kehilangan, tapi Rainy merasa paling sengsara karena tak menikmati senyum si penjual es krim idamannya itu.
“Eh, udah tau gosip baru?” tanya Widi mengagetkannya ketika sedang duduk di kelas sendirian.
“Gosip apaan?” tanya Rainy tak bersemangat.
“Penjual es krim itu...,”kata-kata Widi tercekat karena dia ngomong sambil makan bakwan yang dibawanya dari kantin.
Cepat-cepat Rainy menyodorkan air mineral yang ada di laci mejanya. Biasanya dia paling cerewet kalau ada teman yang minta air mineralnya. Tapi demi mendengar Widi mengatakan tukang es krim, Rainy mendadak jadi dermawan. Dengan tak sabar dia menunggu Widi minum dan menelan bakwan yang tadi hampir mencekik lehernya.
“...dia nggak dateng karena istrinya baru melahirkan. Aku tahu dari Nur, siswa kelas I-6 itu. Rupanya si penjual es krim itu suami kakaknya. Mereka menikah ketika baru tamat SMA dan sekarang baru mendapat momongan,” cerocos Widi tanpa perasaan.
Entah mengapa Rainy berharap Widi lebih baik tercekik bakwan. Rainy ingin Widi berhenti cuap-cuap tentang si penjual es krim itu. Dan yang terpenting Rainy tiba-tiba merasa mual mendengar kata es krim.
***
“Rainy...!”
Rainy celingukan di tengah halaman sekolah. Ternyata Lasfita memanggil sambil berlari-lari kecil ke arahnya.
“Kita jajan es krim, yuk!” ajak Lasfita dengan nafas masih tersengal karena berlari-lari tadi.
“Ehm....nggak ah,” tolak Rainy.
Bersamaan dengan itu Rainy melesat menuju kantin Bu Tuti di sebelah ruang OSIS. Lasfita terbengong-bengong sambil menghela nafas. Untuk pertama kalinya Rainy menolak diajak jajan es krim. Biasanya dia yang paling bersemangat.
“Tumben Ratu Es Krim masuk kantin mie ayam?” goda Gino, ketua kelas mereka.
“Iya, nih. Sudah dua minggu kita nggak ada saingan rebutan saos,” timpal Baktiar sambil tersenyum nakal.
Rainy tak menjawab candaan teman-temannya. Dia tahu mereka menggodanya gara-gara kesengsem sama tukang es krim.
“Makanya kalau cari idola jangan sama tukang es krim, kan masih ada saya,” lirih Gino di telinga Rainy sambil mencomot pisang goreng di atas meja.
Rainy mengerling pada Gino dengan mulut masih dipenuhi pisang goreng pake saos. Matanya sengaja dibesarkan. Tapi Gino malah tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Rainy ternganga sampai sepotong pisang goreng jatuh dari mulutnya.
“Gino.....awas kamu ya....!”
Gino berjalan cepat keluar kantin sebelum cubitan Rainy mendarat di tubuhnya.
Selesai 25 Januari 2013 di Kotapinang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H