Mohon tunggu...
Ros Stevani
Ros Stevani Mohon Tunggu... Buruh - Abdi Statistik

Sedang belajar membunyikan angka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pangan Lokal: Solusi Ketahanan Pangan Maluku?

27 Mei 2024   09:21 Diperbarui: 27 Mei 2024   22:45 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik serta meningkatkan pertanian berkelanjutan merupakan tujuan ke-2 dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadi fokus pemerintah dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia sehat, cerdas dan produktif. Salah satu target dalam tujuan ini adalah menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030, termasuk mencapai target yang disepakati secara internasional pada tahun 2025 yakni menurunkan prevalensi balita pendek (stunting) dan kurus (wasting) serta pemenuhan kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui juga lanjut usia (manula).

Akan tetapi kasus kekurangan gizi masih terjadi di Indonesia khususnya di Maluku. Menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI), angka prevalensi stunting di Maluku tahun 2023 mencapai 28,4 persen meningkat 2,3 persen dari tahun sebelumnya bahkan masih berada di atas angka nasional yakni sebesar 21,5 persen. Masalah kurang gizi bukan hanya berpengaruh pada kesehatan saja, tetapi juga menjadi tantangan pembangunan sumber daya manusia. Dampak panjang dari masalah tersebut akan berpengaruh pada kualitas hidup dan produktivitas penduduk.

Gizi dan Ketidakcukupan konsumsi pangan

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus kekurangan gizi ini, salah satunya kemiskinan yang dialami. BPS Provinsi Maluku merilis sebanyak 16,42 persen  penduduk Maluku berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan persoalan mulitidimensional yang berpengaruh pada masalah kekurangan gizi yang terjadi. Ketidakmampuan penduduk mendapatkan makanan yang cukup untuk dikonsumsi sehari-hari karena kurangnya uang atau sumber daya lainnya.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS mencatat bahwa angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (Prevalence of Undernourisment) provinsi Maluku tahun 2023 sebesar 30,27 persen, yang artinya masih terdapat 30 dari 100 penduduk yang mengonsumsi pangan lebih rendah dari standar kecukupan energi untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Dibandingkan angka nasional yakni sebesar 8,53 persen, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan di Maluku terbilang cukup tinggi.

Pangan lokal jadi alternatif

"Pohon sagu itu suatu hasil di sebelah timur, di Maluku", "dikelilingi oleh lautan, yang penuh dengan kekayaan", dua penggalan lirik lagu Pohon Sagu tersebut menggambarkan kondisi Maluku saat itu, yang mana sagu merupakan makanan khas orang Maluku dan hasil laut yang berlimpah ruah dikarenakan Maluku merupakan wilayah kepulauan. Namun, apakah hal tersebut dapat menjadi solusi untuk persoalan ketidakcukupan konsumsi pangan yang tinggi di Maluku?

Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2023 yang dilakukan oleh BPS, rata-rata konsumsi perkapita setahun terakhir penduduk Maluku untuk komoditas sagu sebesar 4,74 kilogram sedangkan konsumsi beras perkapita setahun terakhir sebesar 78,29 kilogram. Hal ini menunjukkan beras menjadi konsumsi paling banyak dalam pemenuhan asupan kalori per kapita. Kelangkaan beras, harga beras yang meningkat tentunya sangat mempengaruhi konsumsi penduduk, terutama penduduk yang memiliki keterbatasan dalam hal uang atau sumber daya lainnya.

Ajakan untuk terus mendorong mengonsumsi pangan lokal perlu terus digalakkan. Sagu merupakan komoditas yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Dalam banyak penelitian menyebutkan bahwa dari segi kesehatan sagu lebih sehat daripada nasi. Selain karena pati sagu lebih mudah diserap tubuh, pati sagu memiliki penangkal radikal bebas dan memiliki indeks glicemix yang lebih rendah dari nasi (indeks glicemix yang terkandung dalam nasi dapat meningkatkan resiko diabetes lebih tinggi).

Sagu bukanlah produk impor di provinsi ini, sagu dapat dijadikan alternatif karbohidrat untuk dikonsumsi. Menjadi PR bagi pemerintah untuk bagaimana mengelola pemanfaatan sagu menjadi komoditas yang digemari banyak orang. Hari kebangkitan Nasional ke-116 tahun ini mengusung tema "Bangkit untuk Indonesia Emas" menjadi harapan untuk Indonesia menjadi lebih baik. Bangkit saat ini bukanlah bangkit melawan penjajah, melainkan bangkit dari momok kemiskinan, bangkit menjadi sumber daya manusia yang unggul untuk kemajuan bangsa dengan memanfaatkan sumber daya alam yang telah dianugerahkan Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun