Kau akan tahu di mana tempat persemaiannku hingga aku tumbuh seperti sekarang. Bukan tempat yang nyaman, bukan tempat yang mengasyikkan, bukan juga tempat yang baik untuk ditempati. Tempat ini mengikis kesehatan sedikit demi sedikit. Desir anginnya sudah cukup untuk membuat tulang-tulang remuk. Ditambah lagi aku tidak akan pernah bisa tidur, harus terjaga hingga subuh menjelang. Jika aku tertidur semua orang akan tertawa, membinasakanku!
Setiap malam bercokol dengan burung-burung dan beberapa kucing yang mengais makanan di kotak sampah. Terkadang kucing mengendus-ngendus kakiku, berharap aku akan memberikan beberapa makanan untuknya. Kucing itu tidak tahu aku juga gemetar merasakan lapar di hawa malam yang sedingin ini. Kucing itu memandangiku, aku juga memandanginya. Kita punya nasib yang sama malam ini.
Di saat ratusan orang sudah tertidur di asrama yang hangat, aku masih sulit menidurkan pikiranku yang melanglang. Di saat ratusan orang sedang tidur di atas kasur, kadang selimutnya tersingkap, tersadar kemudian diperbaiki agar angin malam yang jahat tidak merasuk. Aku malah ingin sekali menyingkap selimut udara dingin ini.
Pukul 2 dini hari, lampu jalan mulai ditingkahi makhluk-makhluk halus. Nyaliku seketika ciut. Hilang yang kurasakan, termasuk rasa dingin dan lapar yang membuatku gemetar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H