Pada tahun 60 an di daerah Sumbar yaitu di kampung halaman saya .seorang wanita yang sudah berkeluarga seharusnya tinggal dirumah Mengurus rumah tangga  , melayani suami dan menjadi seorang Ibu dari anak anaknya.
Jadi bila kita sudah berkeluarga jangan harap bisa mencapai cita cita kita yang belum terwujudkan.Misalnya Seorang wanita ingin jadi guru tapi keburu nikah maka cita cita ingin jadi guru haruslah dibuang jauh jauh.Belum ada University yang membuka kesempatan untuk wanita yang sudah berkeluarga pada masa itu
Saya Termasuk Salah Seorang Wanita Pertama yang berani keluar dari tradisi ini.
Pada tahun 1969 , IKIP Padang membuka kesempatan untuk wanita yang sudah berkeluarga .Semua wanita yang tamatan setingkat dengan SMA dan  SPG diperbolehkan melanjutkan studynya di IKIP .
Dengan dibukanya IKIP - Institute Keguruan dan Ilmu Pendidikan  maka saya sebagai seorang ibu rumah tangga  yang sudah lulus SMA bisa ikut melanjutkan study di IKIP .Di SMA saya jurusan Pasti Alam maka saya melanjutkan IKIP bagian Exakta dimana saya akan mengajar jurusan pasti nantinya.
Pada awalnya suami bingung mendengarkan keinginan saya untuk melanjutkan studi .Tapi setelah saya jelaskan bahwa hal ini saya lakukan demi untuk ikut bersama suami berusaha mengubah nasib kami  yang sedang terpuruk .Akhirnya suami setuju. Sehingga suami kuliah di jurusan bahasa dan saya di jurusan Ilmu Pasti.
Tidak Melupakan KodratÂ
Pada masa itu  ,hal ini merupakan sesuatu yang tidak lazim di Kampung halaman kami.  Yakni dimana suami kuliah saya pun kuliah setara dengan suamiÂ
Singkat cerita kemudian kami berdua sama sama jadi guru . Suami mengajar di SD dan kemudian dialih tugas jadi guru di SMP Pius Sedangkan saya mengajar di SMP Murni dan SMA setempat. Selama saya jadi guru  walaupun sama sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami ,saya  selalu ingat kewajiban  saya sebagai seorang isteri dan ibu dari anak kami yang baru satu orang pada waktu itu. Saya selalu menyiapkan segala keperluan rumah tangga dan menempatkan suami sebagai kepala rumah tanggaÂ
Emansipasi tanpa kehilangan kodrat sebagai wanita
Kini tak terhitung banyaknya  wanita  yang beremansipasi tanpa  kehilangan kodrat dirinya sebagai wanita .Misalnya ,dulu tidak pernah ada montir sekarang sudah banyak mekanis wanita.Demikian juga seorang Pilot dulu mana ada Pilot wanita ,tapi sekarang sudah banyak Pilot wanita, walikota, Bupati Gubernur,bahkan presiden
Pilihan ada ditangan kita masing2Â
Mencapai kesetaraan dengan kaum pria sudah tidak lagi menjadi perdebatan karena sudah lama terjadi bukan hanya di  Indonesia tapi di dunia . Kalaupun ada wanita yang menempatkan karir adalah segalanya dalam hidupnya ,biarlah menjadi urusan masing masing.
Bagi saya  ,tidak ada salahnya wanita mencapai kesetaraan dengan kaum pria  asal mereka tahu tugas utamanya sebagai seorang isteri dan  ibu anak anaknya. Setiap orang punya kebebasan untuk memilih jalan hidup masing2Â
Kesimpulan:
Tulisan ini hanya berbagi secuil kisah hidup yang sudah saya jalani. Tidak ada hal yang spektakuler  .Bagi saya pribadi  boleh saja wanita  beremansipasi ,yang penting tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita dan sekaligus seorang isteri dan  ibu dari anak anaknya.
Sehingga dengan demikian ,cita cita menjadikan semangat emansipasi untuk meraih cita cita, adalah untuk ikut berperan membangun kebahagiaan rumah tangga  bukan untuk mengedepankan bahwa saya juga tidak kalah dari suami. Hal yang mungkin sudah dianggap kuno ,tapi prinsip menempatkan keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga  menjadi prioritas utama ,tidak  pernah kadaluarsa.
10 Desember 2020.
Salam saya,
Roselina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H