Ataukah menyumbang demi gengsi?
Arti murni dari :"menyumbang" sesungguhnya adalah pemberian setulus hati. Tetapi kemudian hakekat dari kata "sumbangan " ini telah dicemarkan sejak diterbitkannya "Sumbangan wajib " yang secara resmi oleh pemerintah pada waktu itu. Sejak saat itu arti kata :"sumbangan" menjadi kabur dan kehilangan maknanya.Â
Bahkan belakangan ini, wadah sumbangan,menjadi sarana untuk pamer kebaikan diri ataupun demi popularitas diri,yang dapat menyebabkan efek negatif bagi yang kondisi ekonominya morat maritÂ
Menyumbang dalam bentuk apapun,selama diberikan dengan tulus,tentu saja merupakan ajakan yang sarat rasa kemanusiaan ,serta patut mendapatkan dukungan dari kita semuanya. Kita ikut menyumbang sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita. bila ada sesuatu yang perlu disumbangkan bagi kepentingan orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita.
Menjadikan tenggang rasa untuk membantu orang menderita sebagai bagian dari tradisi ,tentu saja merupakan hal yang patut diapresiasi. Sangat disayangkan,belakangan ,wadah yang diawali dengan niat baik,telah berubah arah menjadi ruang pamer diri .
Menjadi Tradisi
Untuk menyumbang ini dilakukan di WAG dengan mencantumkan nama nama si penyumbang dan jumlah sumbangan yang diberikannya.Hal mana membuat si penyumbang merasa gengsi kalau menyumbang kecil jadi diusahakan menyumbang tidak kalah dari orang lain.Sebagai contoh,diedarkan sebagai berikut :
Rembulan - Rp.500.000
Mentari    - Rp.500.000Â
Bintang    - Rp.200.000Â
Kalau secara wajar mengedarkan daftar sumbangan ini,tentu tidak menjadi masalah. Tapi sayangnya ,satu persatu dari anggota WAG ditanyai :"Hai John, anda nggak ikut menyumbang? Koq  pelit amat? Cuma sebungkus nasi rames ,masa iya nggak mampu? Dan kemudian suasana ini "dihangatkan" lagi dengan komentar yang bernada bercanda,tapi secara psikologis telah menyebabkan yang "ditodong" untuk menyumbang,merasa tertekan bila tidak ikut menyumbang,