Mohon tunggu...
Roselina Anindhita
Roselina Anindhita Mohon Tunggu... Konsultan - Writer

polesor wild wind https://www.youtube.com/channel/UChhTBcntF2ebkMqjr8ch5CQ

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalisme Online di Indonesia, Jurnalisme Perang?

1 April 2017   09:36 Diperbarui: 1 April 2017   18:00 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Hanif Sofyan.

Realita yang terjadi di Indonesia sekarang ini, khususnya memuncak pada pilkada serentak 2017, adalah kemunduran kualitas dan nilai-nilai pers atau media sebagai pembawa damai dan penyampai kebenaran. Kemunduran kualitas pers ini tak lain karena pers di era media baru berbasis teknologi internet berpacu pada kecepatan informasi dengan kurang mengedepankan verifikasi kebenaran informasi. Pers beradu kecepatan informasi karena tuntutan pasar yang menginginkan informasi teraktual.

”Tujuannya jelas, menghadirkan informasi lebih cepat dan lebih kaya bagi khalayak pembacanya, mendekatkan diri dengan masyarakat. Keperluan mempercepat informasi dan mendekatkan diri dengan  khalayak pembaca, kemudian dipicu oleh perkembangan otonomi daerah.” (Oetama, 2009, p.216)

Akibat hanya mengutamakan satu hal saja yakni keinginan pasar dengan tidak mempertimbangkan hal lain yang perlu juga dipenuhi sebagai penunjang kualitas pemberitaan, beberapa nilai atau prinsip jurnalistik mulai dikesampingkan. Dampak yang muncul akibat informasi yang kurang tepat tentu fatal kepada masyarakat, dengan munculnya berbagai simpang siur hingga menguatnya kebencian antar kelompok pengonsumsi media atau penerima informasi.

Pers di Indonesia sering kali atau bahkan hampir setiap harinya selalu memuat berita mengenai konflik dan kekerasan. Berita intoleran dimuat dengan posisi membela yang dominan atau cukup dengan menyampaikan peristiwa tanpa membawa pesan kedamaian. Hal ini terbukti pada peristiwa munculnya video pidato Basuki Tjahaja Purnama, gubernur DKI, di Kepulauan Seribu tatkala menyinggung mengenai surat Al-Maida. (Selengkapnya : Umat Islam Terprovokasi, Begini Kronologi Lengkap Ucapan Ahok Soal Al-Maidah Yang Dipelitir Disebut Melecehkan Al-Qu'ran) Serentak, berbagai media di Jakarta memberitakan video dan peristiwa tersebut tanpa verifikasi kebenaran di Kepulauan Seribu terlebih dahulu. Beberapa tahapan verifikasi informasi dikesampingkan oleh pers. Berita yang dimuat juga disajikan dalam bentuk informasi yang singkat dengan judul yang sering kali provokatif.

Galtung dalam Kansong (2016, p.132) mengatakan merasa prihatin melihat pemberitaan pers yang mendasarkan kerja jurnalistiknya secara hitam-putih, kalah-menang, serta menyebut pola kerja jurnasime seperti itu sebagai jurnalisme perang, sebuah genre jurnalisme yang tertarik pada konflik, kekerasan, korban tewasm dan kerusakan material. Galtung sebagai pengusung konsep jurnalisme damai, telah mencetuskan konsep ini serta banyak dipelajari oleh para jurnalis di seluruh dunia, baik yang mengenyam pendidikan di bidang media secara formal maupun melalui pelatihan-pelatihan. Galtung (dalam Kansong, 2016, p.132) menulis beberapa pertanyaan panduan dalam menulis jurnalisme damai, sebagai berikut :

  1. Konflik apa? Kelompok mana saja yang bertikai dan apa tujuan mereka, termasuk kelompok-kelompok yang memicu kekerasan?
  2. Apa akar konflik, structural atau cultural, termasuk sejarahnya?
  3. Visi apa yang tersedia sebagai jalan keluar dan kendala apa yang mengganjal? Adakah ide baru dan kreatif (untuk menyelesaikan konflik)? Memadaikah ide-ide tersebut untuk mencegah kekerasan ?
  4. Jika kekerasan terjadi, efek apa yang mungkin timbul, seperti trauma dan dendam, serta keinginan untuk balas dendam dan menang?
  5. Siapa yang bekerja untuk menghindari kekerasan, apa visi, metode, dan cara mereka menyelesaikan konflik dan bagaimana merka bias didukung?
  6. Siapa yang sesungguhnya mengawali rekonstruksi, rekonsiiasi dan resolusi, dan siapa yang hanya mengambil keuntungan dalam perjanjian perdamaian?

Akan tetapi, cukup disayangkan bahwa yang terjadi di Indonesia. Pers di Indonesia masih enggan menerapkan jurnalisme damai dalam pemberitaan sehari-hari. Pers di Indonesia cenderung mengikuti keinginan pasar untuk memperoleh audiens atau pembaca sebanyak-banyaknya melalui berita hitsyang disajikan, sehingga dapat mendongkrak pemasukan media dari para pengiklan yang tertarik beriklan di media tersebut atau juga dari penjualan oplah koran serta klik pada media online.

Dari beragam pemberitaan media mengenai video pidato Basuki Tjahaja Purnama yang telah diutak-atik(dipotong dan diedit), semakin memperpuruk intoleransi di Indonesia. Kelompok-kelompok dominan yang intoleran semakin vokal dan merasa memiliki ruang untuk menjustifikasi kelompok minor.

Dalam menangkis praktik jurnalisme yang tidak menciptakan kedamaian, setelah muncul jurnalisme damai, di Indonesia muncul jurnalisme keberagaman. Oleh Kansong (2016. p.132), jurnalisme keberagaman dimaknai sebagai sebuah gagasan yang harus dipraktikan, sehingga tidak hanya menjadi sebuah konsep pemikiran saja.

”Definisi jurnalisme keberagaman ialah praktik jurnalistik yang berkomitmen pada keragaman dan perbedaan.” (Kansong, 2016, p.132).

Dikatakan pula oleh Kansong dalam bukunya (2016, p.132), bahwa jurnalisme Keberagaman memungkinkan pers atau wartawan mengolah pengetahuannya dan pemahamannya tentang keberagaman menjadi pemberitaan. Journalisme keberagaman fokus pada keberagaman dengan prinsip advokasi dan empati. Dari prinsip tersebut, menurut Usman Kansong, masih diturunkan menjadi beberapa poin penting, yakni; fokus pada keberagaman dan perbedaan; mengedepankan HAM; membela korban yang umumnya dari minoritas; mengedepankan journalisme damai; dan berperspektif gender.

Ketika jurnalis atau pers paham mengenai keberagaman dan menggunakan prinsip-prinsipnya dalam menulis dan memuat pemberitaan, maka kerusuhan dan konflik dapat terminimalisir. Hal ini juga dikarenakan dalam jurnalisme keberagaman, mengedepankan klarifikasi serta verifikasi informasi sehingga dapat menghindari disinformasi. Para jurnalis perlu kembali melihat poin penting mengenai sembilan elemen jurnalisme yang pernah dipaparkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, sehingga di era media online yang serba cepat dan aktual serta masuk dalam sirkulasi arus pasar, kualitas jurnalisme dapat tetap dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun