Di rumah itu aku kembali mudik,
setelah lelah menyusuri belantara kota, gedung-gedung nafsu,
lorong keinginan, dan labirin pikiran tak berujung.
Di pojok halamannya kupercikan kembali bening air padasan
bikinan kakek yang diisi setiap pagi dari sumur di belakang rumah.
Di pojok beranda: bentik, dakon, kelereng dan ketapel masa kecilku memandangku curiga.
Ah, Aroma tembakau tercium kembali dari hisapan rokok ayah
yang dulu selalu saja menghisap kesedihan dan kekhawatiran kami
sambil duduk bersandar di amben teras rumah sehabis kerja seharian di sawah.
Kesiur aroma sirih meluncur dari bibir ibu sambil tak jemu menyapu
pada pringgitan dan kamar-kamar jiwa anak-anaknya
Aku pun bergegas menuju kamar membaca kembali sisa-sisa mimpi yang tertinggal,
catatan-catatan kakek dan bapak yang masih tersisa
Barangkali bisa kuteruskan mencatat lagi embun yang jarang turun.
sebab kini, di metropol, angin semakin menipis, dedaunan dan tanaman hanya hiasan
menutupi bopeng-bopeng yang semakin melebar dan menjalar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H