Membaca dari judul di atas mungkin timbul banyak pertanyaan atau komentar  dari pembaca "koq nekat banget liburan di saat pandemi?"
Saya mengerti mengapa pertanyaan demikian terlontar. Kebanyakan mereka  tidak memahami adanya alasan di balik kejadian.
Semua orang mengimpikan bisa traveling bersama orang yang dicintai dengan aman dan nyaman tanpa rasa khawatir dan cemas. Tetapi apa yang saya alami pada tangal 13 Maret 2020 lalu bukanlah perjalanan yang saya impikan, semua di luar dari rencana.
Hampir tiga bulan sejak kedatangan saya dari Eropa, saya tidak banyak bercerita kepada teman ataupun sanak saudara bagaimana keadaan selama  di Eropa. Bahkan saya tidak memposting foto-foto indah selama berada di Eropa di halaman facebook saya.Â
Semua demi menghindari komentar miring mengenai perjalanan ini. Â Tetapi daripada saya simpan sendiri, lebih baik saya berbagi cerita mengenai pengalaman saya selama berada di Eropa, tepat pada saat Covid 19 baru hangat-hangatnya merebak. Tentunya tanpa bermaksud pamer.
Satu alasan mengapa saya pergi ke Eropa, yaitu untuk menemani ibu  yang ingin sekali melihat keindahan negara tersebut, apalagi saat itu sedang ada  pameran bunga tulip di Belanda.
Oleh karena tidak ada anggota keluarga yang bisa menemani ibu yang telah berusia 70 tahun untuk pergi ke Eropa, akhirnya sayalah yang menemaninya. Saya pikir mumpung ibu saya masih sehat dan bisa kuat berjalan, mengapa harus saya lewatkan moment ini?
Rencana pergi ke Eropa sebenarnya sudah ada sejak tahun lalu. Kami berencana pergi ke Eropa dengan tujuan negara Italia, Paris, Jerman, Switzerland, dan Belanda dengan menggunakan jasa travel.Â
Di bulan Oktober 2019 saya diwajibkan membayar uang muka setengah dari biaya perjalanan  sebagai tanda jadi peserta dari travel tersebut, sedangkan pelunasan akan dilakukan di awal bulan Februari 2020.
Tidak ada tanda-tanda ataupun berita munculnya virus baru di bulan Oktober. Oleh karena keadaan aman terkendali pada bulan itu, saya dan ibu memastikan diri untuk membayar jasa travel.
Awal mula berita Covid 19 muncul di Wuhan  adalah di bulan Desember 2019. Tidak ada yang menduga virus ini tanpa pamit menerobos masuk ke negara-negara Eropa termasuk Italia, negara yang akan menjadi target perjalanan kami.
Hati yang tadinya berbunga-bunga mau mengunjungi negara yang terkenal indah, lambat laun meredup dan berujung kecemasan mendengar wabah Covid 19 bergeser ke negara-negara lain termasuk Eropa.
Biaya perjalanan sudah dibayar penuh pada awal Februari 2020 dan group whatsaap peserta perjalanan tur Eropapun sudah terbentuk. Tetapi kabar menggemparkan Covid 19 menggoncang kegembiraan kami.
Isi chat yang berawal indah dengan perkenalan satu sama lain berubah menjadi tegang setelah mendapat kabar bahwa Italia, negara yang menjadi tempat landasan pesawat dan kunjungan pertama kami terdampak pandemi Covid 19 yang cukup parah.
Peringatan-peringatan dari anggota keluarga bahkan bos tempat saya bekerja tidak henti-hentinya saya terima  sejak akhir Februari di mana Covid 19 makin mengganas di Italia. Saya pusing memikirkan harus bagaimana, apalagi saya membawa ibu yang sudah lansia.
Bukan hanya saya yang panik, tetapi para peserta lainnya semua panik sampai memaksa pihak travel untuk membatalkan dan mengembalikan uang perjalanan dengan adanya pandemi mendadak ini.
Namun pihak travel masih berkeras bahwa KBRI maupun pemerintah Italia tidak me-lock down negaranya. Â Semua perjalanan masih sesuai itinerary.
Satu minggu sebelum keberangkatan, saya semakin stres memikirkan tekanan dari keluarga untuk membatalkan perjalanan, memikirkan berita-berita di internet dan TV tentang betapa bahayanya virus ini khususnya untuk para lansia. Â Sudah pasti, hal utama yang saya pikirkan adalah keselamatan ibu saya.
Saya tidak bisa tidur nyenyak, berdoa siang malam supaya Tuhan menolong saya untuk mengambil keputusan terbaik. Berita buruknya, jika saya membatalkan perjalanan, Â pihak travel hanya bisa memberikan refund sebesar 25 persen dari total biaya perjalanan.
Jelas saya tak rela jika mereka hanya mengembalikan refund sekecil itu. Tak rela pula visa seharga 1,7 juta per orang melayang begitu saja. Mereka mana  mau tahu bagaimana susahnya mencari uang demi perjalanan ini. Semua jadi serba salah. Dibatalkan, uang akan hangus. Tetapi bila dilanjutkan, saya harus siap berhadapan dengan si corona.
Oleh karena perjalanan tidak bisa dibatalkan, saya dan ibu mengambil tindakan preventif dengan suntik vaksin influensa. Â Kami melakukan vaksin di rumah sakit terdekat dengan biaya suntik sekitar Rp 300.000 per orang. Harapannya tentu saja bisa mencegah penularan Covid 19
Selain melakukan vaksin, saya juga mempersiapkan vitamin, masker, tisu ber-alkohol dan minum-minuman herbal untuk menjaga stamina selama di Eropa.
Hari keberangkatanpun semakin dekat. Para peserta bukannya semakin senang tetapi semakin panik, Â memaksa pihak travel untuk membatalkan, menjadwal ulang perjalanan sampai memaksa untuk mengalihkan penerbangan ke negara lain, bukan ke Italia yang sedang panas-panasnya merebak Covid 19.
Saya tahu pihak travel tertekan dengan keadaan ini. Mereka kesulitan untuk menarik kembali  uang para peserta dikarenakan hotel berada di negara yang berbeda-beda dan tidak semuanya memberlakukan lock down seperti Italia pada saat itu.
Hati saya makin gelisah ketika mendengar sudah ada peserta yang mengundurkan diri saking paniknya. Saya benar-benar merasa terjebak dalam liburan yang menegangkan ini.
Dua hari sebelum keberangkatan, akhirnya keluarlah pengumuman bahwa negara Italia secara resmi ditutup untuk penerbangan dalam dan luar negri.
Puji Tuhan. Setidaknya berita ini sudah mengurangi satu puncak stres saya untuk menghindari negara pandemi.
Akhirnya, in the last minute, di menit-menit terakhir, rute pesawat diubah. Yang tadinya direncanakan mendarat di Milan, Italia berputar ke Munich International Airport,Jerman.
Rencana kunjungan ke Italia, khususnya ke  Venesia gagal total karena Covid 19 yang sudah menjalar hebat ke kota ini.
Ada beberapa peserta pecinta negara Italia yang sangat sedih mendengar kabar tersebut. Mereka masih tetap berharap bisa mengunjungi Milan meski kota ini sudah masuk zona merah.
Saya justru senang dengan dibatalkannya perjalanan ke Italia. Dalam keadaan terjebak seperti ini, saya sudah tidak memikirkan naik perahu dan berfoto cantik lagi di Venesia. Saya hanya memikirkan keselamatan. Buat saya perjalanan ini bukannya menyenangkan malah jadi beban.
Hari yang ditunggu tiba juga. Pihak travel sudah mengumumkan tempat dan jam untuk bertemu di bandara Soekarno Hatta di group whatsapp. Namun hanya satu peserta saja yang merespon pengumuman tersebut.
Nampaknya, semua peserta sudah kecewa dan dihantui oleh  ketakutan. Tetapi apa yang bisa kita buat sebagai peserta, kecuali menguatkan hati dan mental menghadapi perjalanan yang entah akan seperti apa di sana.
Akhirnya kami dipertemukan juga dengan para team dari pihak travel yang nampak tegang menghadapi peserta. Â Mereka berusaha menjelaskan dan menenangkan hati para peserta untuk tidak khawatir mengenai perjalanan ini.
Tiba-tiba ada keraguan lagi untuk melangkah mengikuti perjalanan ini, jujur takut ketularan virus di luar negri. Tetapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Keputusan tidak bisa diubah lagi, tetap harus pergi.
Saya berusaha mengalihkan pikiran yang gelisah dengan doa. Tangga demi tangga pesawat saya naiki sambil menguatkan iman dan berkata semua akan baik-baik saja.
Sebelum masuk pesawat, wajah saya dan ibu sudah tertutup dengan masker N-95 Â demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di pesawat seperti orang bersin atau batuk. Meski tersiksa dengan masker yang ketat dan bikin sesak nafas, tetapi saya rela memakainya demi keamanan diri sendiri.
Memasuki pesawat, kami disambut dengan pramugari-pramugari cantik dan ramah asal Timur Tengah. Hanya saja, saya heran mengapa mereka tidak menggunakan masker? Padahal pandemi ini sudah menjalar ke berbagai negara.
Karena melihat para pramugari tidak memakai masker, saya jadi berpikir bahwa Covid 19 ini tidak berbahaya, tidak seperti yang dibesar-besarkan media. Tetapi antisipasi tetap saya jalankan. Masker tetap menempel di wajah.
Saya menengok kiri kanan depan belakang, kursi penumpang banyak yang kosong. Pastilah karena banyak penumpang yang sudah membatalkan perjalanannya. Rasanya hanya orang-orang nekad seperti saya saja yang sedang berpetualang ke negara pandemi. Bukan nekad sih, terpaksa.
Daripada pusing mikirin bagaimana nanti di Eropa, saya kembali menutup mata berdoa untuk mengurangi kecemasan sampai akhirnya  ketiduran.
Pesawat berjalan mulus. Snack dan makanan lezatpun terhidang silih berganti sampai saya lupa akan ketakutan-ketakutan yang saya bawa dari Jakarta. Mungkin juga karena saya sudah pasrah. Akhirnya saya tiba di Abu Dhabi Airport, negara tempat transit sebelum menuju Munich, Jerman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H