Pada awalnya memang aku sering panik, sedih, marah dan frustasi bila dapat pertanyaan itu. Orang lain mungkin mengucapkan itu sebagai basa basi. Tapi bagiku berasa seperti belati yang menancap tepat di ulu hati.Â
Seiring waktu kebijaksanaanku mulai bertambah dan aku mulai mengerti bahwa penyebabnya ternyata karena gambar diriku yang masih salah.Â
Ketika itu aku mengira bahwa nilai diri dan keberhargaanku adalah apabila aku bisa memenuhi standar sukses di mata orang-orang di sekitarku. Misalnya, usia segini seharusnya wanita udah menikah, udah punya anak, udah punya karir bagus, udah punya rumah dan harta benda lain.Â
Aku sering mendengar orang-orang berbicara tentang wanita single di usia matang dengan sudut pandang seolah mereka aneh, gagal dan memprihatinkan.Â
Jadi, aku tak ingin dinilai begitu oleh orang lain. Sehingga aku menuntut diriku untuk segera menikah. Karena aku belum kunjung menikah, aku menjadi kesal ditanyain kapan nikah. Aku berpikir orang-orang itu sedang memojokkanku dan mempertanyakan nilai diriku.Â
Itu makanya, ketika itu aku sering menjawab dengan jutek. Bahkan beberapa teman yang menanyakannya lewat media social, aku blokir. Aku murka setiap kali ditanya kapan nikah.
Sampai aku tiba pada tahap menyadari bahwa hidupku berharga dan mulia di mata Tuhan maka aku tak lagi begitu terganggu dengan pertanyaan itu.Â
Tuhan menciptakanku untuk suatu tujuan khusus dan mencapai tujuan itulah yang seharusnya menjadi perlombaan yang wajib aku kejar.Â
Aku punya standar sukses yang baru yaitu hidup berkenan dan menggenapi rencana Tuhan dalam hidupku. Bukan lagi lomba cepat-cepatan nikah, lomba banyak-banyakan anak, lomba rumah paling besar dan lain-lain.Â
Karena aku akhirnya punya persepsi yang baik tentang diriku, aku tak lagi begitu mempermasalahkan apa kata orang.
Dan aku pun mengerti, kadang sebenarnya mereka yang nanya itu hanya basa-basi, kadang ada yang memang heran, kadang emang ada yang benar-benar care dan ingin menolong karena prihatin.