"Ini lagi diskon loh!"
"Belum ada uang sekarang? Tenang aja, bisa bayar gajian kok!"
"Mumpung masih muda, kapan lagi kita bisa jalan-jalan, happy-happy. Nanti kalau udah nikah dan udah punya anak, udah gak bisa loh kayak gini!"
"Jangan terlalu pelit sama diri sendirilah. Kau berhak mendapatkan ini!"
Itu adalah beberapa kalimat yang menjadi kelemahanku dalam mengelola keuangan yang stabil selama beberapa tahun sejak aku mulai bekerja.
Seringkali aku berada dalam keadaan yang disebut "besar pasak daripada tiang" karena pola hidupku yang boros. Aku juga sering tergoda untuk berhutang untuk hal-hal konsumtif.
Kalau ada yang nawarin suatu produk yang bisa bayar gajian atau dicicil, biasanya aku beli. Rasanya beli sesuatu yang bisa bayar pas udah gajian itu adalah suatu transaksi yang menguntungkan.
Kalau ada produk yang lagi diskon, walau aku tadinya tak pernah mikir untuk beli produk itu, tiba-tiba jadi merasa itu adalah suatu kebutuhan. Dan bukan kebutuhan biasa tapi Kebutuhan primer, yang harus dibeli, sekarang juga! Hal ini biasa disebut Impulsive buying.
Aku memang sudah rutin nabung tiap bulan, tapi aku belum punya tujuan yang jelas tentang peruntukan dana yang aku tabung, hanya dikumpulin aja di rekening tabungan. Jadinya tiap kali kepepet, dengan gampang mengambil dana tabungan sehingga jumlahnya tetap segitu-gitu aja.
Waktu itu, ada sesuatu yang aku rasakan seperti takut kehilangan moment. Hal ini sering disebut dengan istilah FOMO (Feat of missing out). Orang beli apa, aku juga pengen punya. Orang travelling kemana, aku juga jadi ingin. Kalau gak ada duitnya? Dengan mudahnya minjam. Jadilah berhutang menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk dilepaskan.
Hal ini cukup bikin nyesek karena tiap akhir bulan keuanganku selalu defisit dan pas gajian biasanya gaji cuma numpang lewat sebelum di transfer lagi untuk bayar utang-utang konsumtif di bulan kemarin.