Perawat merupakan garda terdepan dalam memberikan layanan kesehatan. Mereka bekerja dalam jam kerja yang panjang untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut fisik dan emosional, menghadapi situasi stres tinggi di tempat kerja, dan seringkali harus berhadapan dengan kematian dan penderitaan pasien. Beban kerja yang berat dan tekanan emosional ini berpotensi memicu burnout pada perawat.
Berdasarkan penelitian, perawat memiliki risiko burnout yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lain. Hal ini tidaklah mengejutkan, mengingat peran dan tanggung jawab mereka yang kompleks dalam sistem kesehatan. Temuan Prasad, K. et.al. (2021) ini sejalan dengan hasil penelitian Lamuri, A., et.al. (2023) yang menunjukkan bahwa 33,5% perawat di Indonesia mengalami burnout, prevalensi burnout pada tenaga kesehatan tertinggi terjadi di Pulau Jawa (38,4%) dan pada tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit (28,6%).
WHO (2019) mendefinisikan burnout atau kelelahan sebagai suatu sindrom akibat stres yang tidak berhasil dikelola di tempat kerja. Burnout memiliki tiga ciri utama, yaitu perasaan kehabisan energi atau kelelahan, sikap mental yang menjauh dari pekerjaan atau munculnya perasaan negatif dan sinis terhadap pekerjaan, dan menurunnya kinerja profesional.
Burnout pada perawat memiliki konsekuensi yang serius. Brera, A. S., et.al. (2021) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perawat yang mengalami burnout lebih rentan terhadap depresi, kecemasan, dan gangguan kesehatan lainnya. Hal ini dapat berakibat pada penurunan kualitas layanan pasien. Burnout pada perawat juga dapat meningkatkan turnover dan kekurangan tenaga kesehatan, yang pada akhirnya dapat berakibat pada menurunnya kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.
Meningkatkan resiliensi pada perawat dapat menjadi strategi penting dalam mencegah terjadinya burnout. Resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit kembali dari situasi yang sulit. Perawat yang resilien lebih mampu menghadapi stres, mengatasi tantangan, dan mempertahankan kesejahteraan mental dan fisik mereka.
Terdapat berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi perawat. Berdasarkan studi Kim, E.Y & Sung, O.C. (2022), terdapat lima persepsi perawat terkait pengalamannya yang bisa menjadi strategi dalam meningkatkan resiliensi, diantaranya sebagai berikut:
Pengembangan diri berdasarkan batin diri sendiri dengan mengenali tanda-tanda kesulitan.
Para perawat mencoba mencari solusi dengan memusatkan perhatian pada tanda-tanda bahwa mereka telah menghadapi kesulitan. Mereka tidak menyangkal tanda-tanda kesulitan, namun mengenali dan mengakuinya. Perawat melihat ke dalam dirinya untuk menemukan masalah dan mencoba merefleksikan dirinya. Mereka mencoba untuk fokus pada situasi saat ini dan menunjukkan sikap menerima situasi yang mereka alami daripada menghindari. Mereka percaya pada kemampuan mereka, mencoba mengungkapkan perasaan mereka dengan jujur, dan mencoba mengenali tanda-tanda peringatan stres daripada mengabaikannya.
"Saya memikirkan cara ketika sesuatu terjadi sehingga saya bisa pergi menjauh, duduk dan merenung, lalu mungkin memikirkan strategi apa pun untuk kembali menjadi lebih kuat. Jadi kalau hal yang sama menimpa Anda lagi, Anda tahu harus lari ke mana, dan arah mana yang lebih cepat."
Â