Aku iri dengan masa muda dan masa kecil emakku. Aku senang diceritakan olehnya tentang suasana hidup di tahun 80-90 an. Meski kata emak itu zaman susah, tapi aku merasa sangat ingin berada di zaman itu. Demi apa anak milenial sepertiku ingin kembali ke masa lalu?! Demi melihat kunang-kunang!
Aku sangat bersyukur tinggal di desa, meski aku tahu lambat laun tanah desaku akan semakin ramai dan bertambah sesak lalu berubah menjadi kota. Â Di desa, aku bisa menghirup udara segar, bercocok tanam di lahan, mendengarkan burung bernyanyi dan menatap senja di ujung persawahan.
Desaku adalah desa yang unik. Letaknya sangat unik. Desaku berada di tengah tengah pulau Sumatra, persis di tengah. Tak ada gunung, pantai dan danau disana. Hanya ada beberapa anak sungai yang berasal dari muara Danau Ranau nun jauh di kabupaten sebelah. Karena itu, beribu syukur kami haturkan karena desaku hampir tak pernah terkena bencana alam seumpama gunung meletus, gempa bumi, tsunami atau tanah longsor. Paling-paling hanya banjir kecil yang merendam sawah-sawah yang letaknya persis di tepi sungai.
Ya, Emak Bapakku juga sedari dulu hidup di desa, tak pernah berpindah kemana-mana. Emak banyak sekali berbagi cerita tentang masa kecilnya yang penuh derita. Tapi bersamaan dengan penderitaan masa kecil Emak,aku melihat masa kecil yang sempurna dan bahagia. Masa keccil yang alami dan begitu dekat dengan alam yang masih asri.
Kunang-kunang adalah alasan terbesarku kenapa aku ingin kembali ke masa kecil Emak. Aku sangat prihatin mengetahui bahwa aku belum pernah sama sekali melihat kunang-kunang semasa hidupku. Terlebih lagi, kudengar habitat kunang-kunang akan segera punah! Bah! Cukuplah dinosaurus yang tak dapat kusaksikan karena keburu punah sebelum aku dilahirkan. Kunang kunang tersayang, jangan.
Kata Emak, dulu di rumah Embah, banyak sekali kunang kunang yang berterbangan di atas kolam ikan depan rumah. Sepulang mengaji dari langgar Pak Haji, Emak dan para Bibi berlarian mengejar kunang-kunang yang berterbangan riuh rendah di antara rerumputan. Setiap malam, kunang lah yang jadi hiburan. Kala itu, listrik belum masuk di desa emakku. Itulah!Â
Kunang kunang dengan senang hati diciptakan Tuhan untuk menerangi gelap malam. Menemani anak-anak menikmati malamnya yang membosankan.Â
Aku iri sekali mendengar cerita emak, aku terheran-heran bagaimana bisa kunang-kunang saat itu menjadi hewan yang sudah biasa kehadirannya di malam gulita seperti kehadiran laron di musim penghujan. Aku membayangkan Emak, para Bibi dan Paman tertawa kegirangan saat menangkap kunang-kunang dan meletakkannya di atas telapak tangan. Ah, sungguh masa kecil yang menyenangkan.
Lain lagi cerita Bapakku. Emak sesungguhnya lebih realistis daripada Bapak. Emak yang dasar agamanya kuat telah dididik oleh Mbah Biyung untuk lebih percaya Tuhan daripada hantu. Tapi bapak lebih percaya hal mistis. Tapi, aku dan adikku menyukainya! Kami lebih senang mendengar cerita Bapak ketimbang cerita Emak. Itu karena horror lebih menarik.Â
Horor memberi sensasi mengerikan tapi juga menyenangkan. Ngeri-ngeri sedap. Dan bapak membuat cerita itu terasa lebih nyata karena Bapak sangat pandai bercerita. Sewaktu bercerita, Bapak mengatur intonasinya dengan sangat baik dan menggerak-gerakkan tubuhnya sehingga kami semakin bergidik ngeri.
Jika tadi cerita Emak tentang kunang kunang bernuansa menyenangkan. Cerita Bapak justru sebaliknya. Ketika kutanyakan pada Bapak pendapatnya soal kunang-kunang, Bapak akan menjawab bahwa kunang-kunang sesungguhnya hadir bersamaan dengan makhluk menyeramkan bernama Kemangmang. Sewaktu Bapak kecil, ketika belum ada listrik di desa, suasana malam terasa mencekam, apalagi jika tidak ada terang bulan.Â