Mohon tunggu...
Rosa Mariany
Rosa Mariany Mohon Tunggu... Human Resources - Human Resources enthusiast. Poet, philosopher. Failure

Anti mainstream, smart and humorous daughter, wife and mom - living with passion and music is my language.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Tepuk Tangan

21 Agustus 2014   00:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:01 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada sebuah workshop yang saya hadiri beberapa minggu yang lalu, diperkenalkanlah sebuah permainan tepuk tangan. Fasilitatornya mengajarkan kepada kami sebuah rangkaian tepuk tangan. Gerakan tepuk tangan dicontohkan secara santai mulai dari yang paling mudah sampai dengan yang penuh variasi gerakan tambahan lainnya. Permainan tepuk tangan ini sangatlah menarik dan hampir semua peserta terlihat menikmatinya. Kami seperti dipindahkan dari ruang satu ke ruang lainnya - ruang dengan nuansa yang berbeda. Permainan tepuk tangan ini terus terang memberi kesan yang cukup mendalam pada saya. Bukan semata karena beat yang diperdengarkan bisa dengan seketika merubah suasana menjadi riang dan penuh semangat setelah sesi yang cukup berat dan melelahkan, tetapi lebih kepada arti dan makna sebuah gerakan bertepuk tangan.

Apakah itu bertepuk tangan? Bertepuk tangan adalah gerakan pada tubuh dimana kedua tangan bertemu pada masing-masing sisinya dengaan sebuah hentakan yang menghasilkan sebuah bunyi. Bertepuk tangan bisa dilakukan dengan berbagai ritme, bermacam jumlah hentakan atau dikombinasikan dengan beberapa gerakan. Terus terang saya tidak berusaha mencari tahu secara baku apa arti bertepuk tangan. Sepertinya ini cukup mudah untuk diungkapkan, bukankah setiap kita pernah bertepuk tangan? Bahkan saat masih bayi, orang tua kita pun mengajarkan caranya.


Bagi saya (dan mungkin pastinya bagi orang lain) bertepuk tangan merupakan salah satu cara berkomunikasi yang ringan. Tujuannya adalah memberikan sebuah arti (yang dipahami bersama) kepada pendengar tepukan tangan tersebut. Ada banyak contoh yang bisa dipakai untuk menjelaskannya secara lebih spesifik. Sebuah pertunjukan yang mengagumkan akan membuahkan derai tepuk tangan dari si penontonnya sebagai tanda kekaguman ataupun penghormatan terhadap sajian pertunjukan tadi. Pada perayaan ulang tahun, biasanya saat menyanyikan lagu-lagunya selalu diiringi dengan tepuk tangan, tanda ada sebuah keriaan di dalamnya. Kemudian pada sebuah acara perlombaan atau sayembara yang tidak terlalu formal penilaiannya, biasanya perhitungan skor dilakukan dengan mengukur riuh rendahnya tepukan (tangan) para penonton yang didapuk menjadi juri dadakan, sebuah arti penilaian dipaparkan. Sebuah tepuk tangan juga kadang kita lakukan secara refleks dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya ketika memanggil penjaja jualan gerobak dorong yang sudah berlalu jauh. Biasanya kita akan membuat sebuah tepukan tangan, semakin jauh jaraknya, semakin keras kita melakukan tepukan tangan agar di dengar. Ada juga sebuah gerakan refleks dari sebuah tepukan tangan yang cukup keras (biasanya kemudian diikuti dengan hembusan atau helaan nafas panjang) mengisyaratkan kekecewaan, lupa sesuatu atau bahkan mengingat sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Sebuah tepuk(an) tangan ternyata memberikan begitu banyak arti dalam kehidupan kita tanpa kita sadari. Uniknya dari semua yang saya paparkan tadi ternyata memiliki satu kesamaan, yaitu bahwa tepuk tangan yang kita lakukan pada dasarnya diperuntuk bagi pihak lain, baik itu seseorang atau sesuatu. Lebih tepatnya seperti ini, tepuk tangan yang saya lakukan pada workshop yang saya ikuti semata karena mereka (fasilitator) menyuruh saya dan peserta lain melakukannya (bukan keinginan saya secara murni). Hal tersebut bukan hanya membantu fasilitator sebelumnya untuk sekedar rehat sejenak tetapi juga memberikan perasaan relaks pada peserta lainnya. Tepuk tangan yang dihasilkan setelah sebuah pertunjukkan selesai diperuntuk bagi si penampil pertunjukan, tentu saja setelah penonton tergugah dengan apa yang dilihatnya. Tepuk(an) tangan yang mengiringi lagu-lagu pada perayaan ulang tahun, tentu saja ditujukan kepada keluarga, rekan atau teman yang merayakan bertambahnya umur tadi (tidak mungkin dalam perayaan riang seperti itu kita akan berdiam saja, walaupun kita sendiri yang tahu apa yang sedang kita rasakan benar-benar senangkah atau malah sedang bersedih karena suatu hal lain?). Sebuah penilaian dari riuh rendahnya suara tepuk tangan diberikan kepada pihak yang melakukan perlombaan atau sayembara tadi. Biasanya pembaca acaranya yang menyuruh kita melakukannya, hampir serupa dengan apa yang saya lakukan pada workshop itu. Begitu pula tepuk tangan yang secara refleks kita lakukan.

Arti memanggil dalam sebuah tepuk tangan jelas diperuntuk bagi penjaja jualan gerobak dorong tadi (walaupun dipicu dari keinginan si pemanggilnya tersebut) ataupun tepukan tangan yang cukup keras (yang biasanya diikuti dengan hembusan atau helaan nafas panjang) tadi. Tepukan itu tentu saja mengarah pada sesuatu. Sesuatu yang mengecewakan, terlupakan atau tiba-tiba teringat oleh si pelaku tepuk tangan tadi. Pada akhirnya apa yang kita lakukan dalam hal bertepuk tangan semata hanya untuk orang lain atau sesuatu.

14085303221168440314
14085303221168440314

Lalu pertanyaannya; apakah kita pernah secara sadar penuh memberikan tepuk tangan pada diri kita sendiri? Dipicu murni oleh diri kita sendiri dan diberikan kepada diri kita sendiri? Sebuah tepuk tangan yang bisa kita atur sendiri beat atau ritmenya, jumlahnya bahkan variasinya? Entah sekedar memberi kekaguman, pujian semata, keriaan, panggilan ataupun kesadaran atas sebuah kekecewaan, keterlupaan atau keteringatan akan diri kita sendiri. Saya rasa kita harus mulai melakukannya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun