Jelas aku langsung menoleh, dari sisi kanan dia jalan menghampiriku. Tuhan. Kill me right now. Seolah ia tahu apa yang baru saja terjadi. Ia lantas merangkul pundakku. Terasa dia mencoba membuatku tenang atas apa yang baru saja terjadi. Seperti biasa aku selalu merasa nyaman dalam dekapannya. Tetapi rasa nyaman itu selalu hanya ada dalam mimpi, belum pernah nyata atau mungkin tak akan pernah menjadi nyata. Lantas kami berlajan berdua keluar dari keramaian pasar malam.
Aku terbangun dengan rasa aman, nyaman dan tenang. Aku tahu mimpiku tentangnya seolah mengatakan bahwa pikiranku, hatiku, diriku tengah merindukannya. How Should I Say that I Miss You So Bad? Kita bisa saja sering bertemu, tapi entah kenapa semakin dekat malah membuat semakin rindu. Sungguh konyol.
Minggu pagi yang basah dan indah. Aku lantas bergegas ke balkon, mencari tempat yang nyaman untuk diriku sendiri yang tengah rindu, menyalakan laptop, menyalakan internet dan mencoba mencari kabar tentangmu. Kau ada. Tadi. Aku yakin kau baik-baik saja. Lantas ditemani semilir angin dingin pagi, suara kokok ayam, suhu lembab dan bau tanah karena semalam baru saja hujan, dan gunung yang tak nampak tertutup kabut, aku menuliskan ini untukmu. Satu lagi ditemani alunan lagu "Firasat",
Kemarin kulihat awan membentuk wajahmuDesau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku
Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Walau kita tak pernah mempunyai selera yang sama dalam musik. Tapi aku selalu senang mendengarkan lagu ini kapanpun aku memikirkanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H