Tentang secangkir kopi
oleh: E. Rosalina
Bagimu
Bagaimana secangkir kopi hitam akan bermakna bagimu? Seolah ada yang ganjil dari pertanyaan ini. Seperti yang diungkap barista John Robusta seorangperacik kopi handal, bahwa segala makna tidaklah mudah terdeteksi dengan sempurna, sebab sensansi rasa yang ditimbulkan oleh ribuan bintik kecil dipermukaan lidah: bagimu, olehku dan untuknya adalah berbeda. Namun, seakan - akan bagimu menjadi sesuatu yang samar. Sesuatu yang olehmu sebagai penjejak misteri dipermulaan maupun ketika telah sampai diujung terakhir.
Kopi luwak. Aku mengertinya darimu. Engkau seolah tak pernah bosan menceritakan bagaimana seekor musang akan memilih memakan buah kopi ( hanya daging buahnya yang dicerna, kulit arinya masih utuh tak dicerna). Dan bagaimana biji dalam kotoran luwak diolah sedemikian rupa hingga tercipta secangkir kopi hitam untukmu. Saat aroma kafein berpadu trigoneline, asam amino dan alkaloid vantina, menyentuh ujung saraf-saraf lidahmu maka bagaimanapun caranya engkau akan memetaforsakannya menjadi sesuatu yang paling nikmat. Saat itu, kurasamustahil engkau berkemampuan seperti itu. Menikmati secangkir kopi dengan cara paling sederhana, tanpa gula sebagai penyeimbang kandungan alkaloid vantina dan dominasi kafeinnya. Atau tanpa penambah rasa serupa vanilla latte, cream atau susu. “Harga gula naik hampir 100%. Tak ada uang untuk membeli gula. Dan jikapun ada, lebih baik aku pergunakan untuk membelikanmu susu. Kau lebih membutuhkan susu sebagai masa pertumbuhanmu dibandingkan minuman sejenis apapun.” Ucapmu pada suasana redup disuatu senja. Ada rasa haru menyelinap tiba-tiba, mengaliri dadaku. Dada seorang bocah berumur 6 tahun.
“Maka, bagiku harus diupayakan cara lain, agar aku tetap bisa meminum kopi tanpa merasa pahit. Dan meskipun pahit, kadarnya tidak melampaui rasa pahit yang pekat. Sungguhpun upaya pencapaian rasa itu kutemukan setelah melewati beberapa tahun lamanya” lanjutmu.
Dan hampir setiap subuh kau selalu terbangun lekas, tergesa menuju tungku didapur yang terletak di bagian paling belakang rumah bambumu. Dan yang pertama kali kau lakukan adalah menjerang air penyeduh kopi. Sesaat kemudian, airnya mendidih. Lalu, kau tuangkan sesendok kopi bubuk di cangkir kopimu yang terbuat dari aluminium itu. Kau atur sedemikian rupa suhu ekstrasinya agar airnya tidak panas berlebih, sebab menurutmu, kesalahan pengaturan ekstrasinya dapat membakar kopi sehingga rasa pahitnya lebih mendominasi. Kau selalu mengatakan itulah rahasia kecilmu yang harus diwariskan turun temurun, termasuk aku barangkali.
Sekarang aku sedang bersamamu. Kau duduk bersila dan aku duduk bersedeku menghadapmu. Secangkir kopi telah tersedia untukmu. Segelas susu kedelai untukku. Engkau selalu mengira secangkir kopi lebih penting sebagai sarapan pagimu dibandingkan sepiring tiwul bertaburkan parutan kelapa. Maka, setiap pagi sebagai permulaan harimu, sebelum engkau pergi berladang, engkau selalu memanggilku disini, diamben panjang yang sengaja kau letakkan di beranda rumah bambumu. Dan selalu saja ada cerita-cerita menarik untukku, meskipun terkadang cerita-cerita itu belum dapat kupahami secara utuh. Disuatu pagi, kaumengeluhkan saluran irigasi yang tak lancar mengaliri sawahmu padahal beberapa hari yang lalu, kau telah berupaya membuat saluran air dari bantaran Kalipudri agar mengalir mengairi sawahmu. Tapi rupanya seseorang sengaja menikung aliran air yang kau buat susah payah itu.
“ Itu curang!” seruku sengit. “ Berlaku curang atau jujur itu pilihan. Curang untuk mempertahan hidup atau jujur mati perlahan-lahan. Dizaman paling sulit seperti sekarang berlaku jujur adalah hal yang paling langka. Dan orang-orang seperti Pak Badar atau Ki Demang, orang yang menikung aliran air sawahku adalah orang yang paling juara. Juara memenangkan hidup. Kelak kau akan melewati masa dimana hukum rimba dilegalkan”. Sekali lagi aku tak bersuara. Aku mengangguk, isyarat aku mengerti. Padahal itu bohong belaka. Sungguh, tak kupahami sedikitpun makna ucapanmu tadi. Ah, ironis bocah seumuranku mampu melakukan tipu daya. Jika kau mengetahui aku berbohong pastilah kau akan menghukumku. Sebab tak pernah sekalipun kau ajari aku berbohong.
Disuatu pagi yang lain, tiba-tiba sorot matamu nanar, raut mukamu meredup. Kuketahui pikiranmu tidak sedang bersamaku disini, melainkan melayang pada sebuah rasa disuatu masa. Rasa yang sengaja kau kubur diam. Tapi, sungguhpun rasa yang kau upayakan selaras dengan rasa damai itu belum seutuhnya sempurna. Aku bisa mengurainya dari cahaya matamu yang redup tersekatgaris hitam. Pahit mungkin rasa itu bagimu, tapi kau seolah tak hendak berhenti melapisinya dengan penuh rasa sabar. Kau terdiam tak seperti biasa. Kau ambil kopimu.Kau hirup aromanya sambil memasukkan tetesan demi tetesan hitam itukemulutmu hingga menyebar merata keatas lidahmu.
( Disuatu pagi berbeda, aku mempertanyakan kebiasaan caramumeminum kopi:“ Mengapa tak langsung diseruput?” Kataku. “ Karenamenghirup berarti memaparkan kopi semaksimal mungkin ke syaraf pendeteksi rasa dalam mulut sekaligus mengirimkan aroma ke indrapenciuman sehingga otak mendapatkan informasiyang lengkap tentang kopi yang kita minum.” ) Jawabmu waktu itu.
Dan segala rasamu bermula dari sebuah malam, Oktober 1974. Tak pernah sedikitpun tersirat tanda-tanda akan terjadinya malapetaka bagimu. Malam itu, cahaya bumantara bersinar cerah menaungi kampung halamanmu. Tiba-tiba saja dalam sekejap mata menjadi tempat yang pekat. Sangat pekat. Bahkan pekatnya melebihi kata pekat itu sendiri. Dan semuanya bagimu terpaksa hilang, lenyap, enyah tak berbekas. Semua itu adalah sesuatu yang paling indah untukmu, sesuatu yang terpenting dalam sejarah hidupmu. Hanya aku yang tersisa bagimu. Ketika itu umurku baru 2 hari. Kau menggendongku, berusaha menyelamatkanku darilingkaran kobaran api. Aku selamat. Namun, kau meratap. Rumahmu punah menjadi abu. Rumah kenanganmu. Rumah wasiat leluhurmu, agar kau menjaganya sampai turun temurun. Maka, ketika beberapa orang berdasi putih dan Pak Badar ( penghulu desa ), mendatangi rumah joglomu, kau mengusirnya dengan rasa marah. Sebab, berapapun harga yang mereka tawarkan atas rumah joglomu, seberapa manisnya bujukan-bujukan mereka agar kau bersedia menjualnya kepada mereka ,kau tetap tak bergeming atas pendapat dan hak-mu, bahwa kau tak akan pernah ingin menjual rumah joglomu, titik!! Seakan-akan kau tak rela rumah leluhurmu, kampung kelahiranmu, sebuah tempat masa kecilmu disulap menjadi bangunan elite bermecusuar megah.
Tapi, apakah senyatanya pendapatmu, hakmu dan ketangguhanmu berguna dalam hal ini?? Sungguh tidak!!
Mereka dan Pak Badar selaku penghulu desa , menganggap rumah joglomu menghalangi proyek pembangunan mereka. Sebab, letak bangunan rumah joglomu justru terletak di pusat proyek yang segera dibangun. Berbagai cara mereka lakukan untuk membujukmu agar kau merelakan wariasan leluhurmu, tapi kau tetap bersikeras pada pendirianmu.
Hingga tiba hari itu. Seseorang atau entah beberapa orang sengaja membakar rumahmu. Memporak-porandakankampung halamanmu. Kau melihatnya, rumah kebanggaanmu bertarung dengan api. Kau juga melihatnya, seorang belahan hidupmu, ketiga putrimu ( diantaranya ibuku ) melepas nyawa dengan tubuh menghitam (gosong ).
Kau menduga Pak Badar dan rekan-rekannya yang melakukan kekejian ini, tapi kau sama sekali tak punya bukti untuk mengantarkan mereka kekotak hukum.
Kau ini siapa? Dan memiliki kemampuan serupa apa ? Hingga termiliki olehmu keberanian melawan mereka. Hanya seorang laki-laki sederhana, yang hanya berkemampuan mengubah tawar menjadi rasa. Peracik kopi hitam, yang handal menetralisir rasa pahit menjadi nikmat. Namun, kau bukanseorang Barista seperti JohnRobusta melainkan kakekku. Seorang petani biasa, yang pintar sebenarnya, tapi masih ada yang lebih memintari dirimu.
Meski kau adalah lelaki tangguh tapi sesungguhnya aku menduga, saat itu hatimu tak setangguh itu. Sebab, kau hanyalah manusia belaka yang terkodrati dengan sebuah rasa. Maka, jika kau menangis saat itu bukanlah hal yang patut dipersalahkan. Ada semacam lukahati yang disebut penyesalan.
Ah, andai saja saat, kau bersedia menjual rumah joglomu, melupakan wasiat leluhurmu, barangkali saja saat ini, kau masih bisa merasakansentuhan rasa dari belahan hatimu, merasakan darma bhakti dari buah hatimu. Hidupmu pastilah terasa lebih utuh dan sempurna, serupa secangkir kopi hitam yang dilengkapi beberapa sendok gula atau di kolaborasikan dengan aroma vanilla, cream atau susu.
Tapi, di bagian lain , oleh leluhurmu pastilah kau dikutuk sebagai keturunan yang mbalelo, yang tak setia pada wasiat leluhurmu.
Sekarang bagimu tak ada kesempatan memilih. Semua anganmu terlanjur pudar barangkali sampai diujung terakhir. Dan secangkir hitam adalah teman seperjalanan hidupmu.
Bagiku dan olehnya
Kukira aku telah pandai meracik kopi sesuai pengajaranmu. Mengatur suhu ekstrasi airnya dan berapa bubuk kopi yang semestinya dituangkan. Meski tak pernah kau ajarkan tentang bagaimana menakar gula yang seharusnya dan bagaimana memvariasikan penyedap rasa lainnya, tapi aku mengira menggunakan naluri naturalisasi adalah cukup.
Awal mulanya ia meminum kopi buatanku dengan cara yang benar ( aku wariskan cara meminum kopi padanya ), kemudian, ia selalu memuji kenikmatan kopi yang aku jamukan padanya. Secangkir kopi spesial untuknya. Tak pernah ia melewatkan detik terakhir dari tetesan cairan coklat berkafein itu. Lalu, setelah kumenjamu, jamuan yang kurasa, yang kuusahakan paling nikmat, paling sempurna itu, ia selalu menutupnya dengan sebaris kalimat yang sungguh ku hafal dan yang ingin selalu kudengar darimu :
“ Terimakasih atas secangkir kopi, pagi ini atau sore ini, atau malam ini “.Lalu, biasanya kau akan memelukku kemudian mencium tangan atau keningku. Itu semua sudah cukup bagiku ,cukup menggambarkan tentang penghargaanmuatas keberadaanku sebagai istrinya.
Ah, tapi itu dulu. Dulu sekali,ketika dipermulaan melewati tahun-tahun pernikahan kita. Ketika rasa bosan atasku belum menjeratmu. Ketika debaran hatimu masih mutlak milikku.
Dan, sekarang kau memiliki ritual berbeda. Secangkir kopi yang biasa ku jamukan padamu, yang biasanya kau tandaskan sampai habis, yang kubuat senikmat apapun, tak pernah sedikikitpun kau sentuh. Kau lebih memilih mengurung diri diruang khususmu, meracik jamu. Aku tak pernah mengira kau pandai meraacik jamu. Disuatu senja, kau duduk dihadapanku, menyodorkan segelas jamu hasil karyamu.
“ Lekaslah minum, sebelum jamu itu berkadaluarsa”
Rasa itu sungguh pahit. Lebih pahit dari secangkir kopi hitam tanpa gula. Senyawa pikroretin dalam jamu yang kau racik itu menyebar hingga merasuk ketenggorokan. Tak kau buat jamu beras kencur sebagai penawarnya. Sebab kau tak berkemampuan meramu penawar rasa pahit itu. Kau hanya berkemampuan meracik jamu pahitan yang berbahan baku brotowali, sambiloto, puel, dan widoro laut.
Aku memuntahkan jamu yang sudah mengendap beberapa detik dilambungku. Ini merupakan pengalaman pertamaku meminum jamu. Kau tersenyum melihatku.
“ Kelak kau akan terbiasa dengan jamu racikanku”
***
Disinilah kau sekarang. Terbaring di perkuburan berbata merah menghadap utara yang dulu adalah kampung kenanganmu. Akan menyakitkan bagimu, kakek, jika kau ketahui rumah warisan leluhurmu, sekarang telah berdiri perkantoran elite dan berderet pusat perbelanjaan.
Tapi, aku sekarang ziarah kesini bukan untuk membahas rumah warisan leluhurmu, melainkan hendak mempertanyakan bagaimana cara meminum jamu. Pahitnya tak serupa kopi hitam yang kau ajarkan.
Suamiku pandai meracik jamu seperti engkau pandai meramu bubuk kopi. Danitulah permulaanku dan olehnya. Jamu racikan suamiku banyak disukai orang, terutama perempuan. Mereka bilang khasiatnya bisa menyembuhkan pegel linu, masuk angin dan banyak lagi khasiatnya. Semakin banyak perempuan-perempuan hilir mudik singgah di rumahku tanpa sepengetahuanku, hingga disuatu pagi seorang perempuan cantik berkalangan elit bertamu menemuiku.
“Maaf, saya telah mengandung anak mas Danar” ucapnya tertunduk menahan isak tangisnya.
Sekonyong-konyong duniaku limbung. Kehilangan arah. Patah tak berbentuk. Sadaran hidupku dicuri perempuan lain.
Jika kau masih hidup, apakah kau juga akan berseru ”itu curang!!” sama seperti aku dulu berseru ketika seseorang menikung aliran air sawahmu.
Kau benar kakek, aku telah sampai pada masa hukum rimba dilegalkan, tata karma sosial telah pudar.
Lalu aku harus bagaimana ? perempuan kaya itu menuntut suamiku bertanggung jawab. Sementara suamiku menyerahkan keputusannya kepadaku, apakah aku bersedia dipoligami atau bercerai. Adalah sebuah keputusan yang sangat pahit. Rasa pahit yang sungguh-sungguh mengendap barangkali sampai akhir hidup.
Epilog
Aku memilih bercerai karena aku tak berkemampuan membagi hati.. Dipermulaan hidupku bersamamu, Kek, aku sangat memahami rasa secangkir kopi dan bagaimana meminumnya. Dan kini di sepenggal perjalanan hidupku bersama Danar, aku mulai belajar menyesap segelas jamu. Kedua rasa itu adalah perbandingan dari sebuah rasa pahit.
-T A M A T-
John Robusta: Tokoh Fiktif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H