Mohon tunggu...
Rosalia Rosalia
Rosalia Rosalia Mohon Tunggu... -

Saya seorang pecinta cerita, melalui cerita saya melihat banyak hal dan belajar mencintainya.\r\nhttp://www.facebook.com/pages/Pecinta-Cerita/166385583407281

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pergilah dengan Tenang, Gideonku Sayang...

26 Januari 2011   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Lin... Gideon meninggal.” suara parau Hans di telepon terdengar memekakkan telinga.

Enggak, nggak mungkin Gideonku mati!

Dilemparkannya gagang telepon begitu saja, dan seketika itu pikiran Linda menjadi kacau.

Gideonku tidak boleh mati, aku harus memastikan bahwa kabar itu salah. Tunggu aku Gid...!!
Dengan langkah tergopoh-gopoh Linda berlari keluar rumah, menyusuri jalan panjang yang seolah tak berujung. Pikirannya sangat kacau, matanya tidak melihat dengan fokus yang baik dan nafasnya pun terengah-engah.

“Lin, bareng yuk! Ke rumah Gideon kan?” teriakan itu tidak asing buat Linda. Itu suara Tiwi, teman sekelas Gideon. Dan Linda menurut saja ketika Tiwi membuka pintu mobilnya dan menarik lengannya untuk segera masuk. Matanya sibuk memandangi daun-daun berguguran di sepanjang jalan itu.

Daun itu gugur, mati. Sama seperti Gideonku juga sudah mati.
“Lin, kamu nggak pa-pa?” tanya Tiwi khawatir. Linda hanya menggeleng pelan, nampak ada bendungan di matanya.

“Lin, aku ngerti kamu deket sama Gideon dan keluarganya. Kamu boleh nangis kok, kalau sedih jangan ditahan ya?”

Linda menundukkan kepala, air matanya jatuh di pangkuan. Rasanya aneh sekali, menangis. Linda bukan tipe cewek cengeng yang suka pada kegiatan menangis. Baginya, menangis hanya untuk orang yang lemah saja. Sekuat tenaga ditegakkannya kembali kepalanya sembari menghapus sisa air mata di pipi.
Di sebuah perempatan besar yang sepi, mereka meninggalkan mobil di tepi jalan bersama dengan beberapa mobil pelayat lainnya. Dari situ mereka harus berjalan kaki sekitar lima ratus meter menuju rumah Gideon yang hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor. Linda menggenggam erat tangan Tiwi semenjak mereka menyusuri jalan setapak berbelok-belok di dalam perkampungan tua itu. Rumah tua yang sudah hampir hancur, warnanya lusuh dan beberapa sudut pintu dan jendelanya berlubang digerogoti rayap. Orang sudah begitu banyak membanjirinya sampai meluber memenuhi gang-gang di sekitarnya. Tapi Linda bersikeras menerobos kerumunan yang begitu padat, meninggalkan Tiwi sendiri di halaman.
Yah, cuma bisa ikut berdiri di dekat daun pintu, tidak bisa lebih dekat lagi untuk bertemu dengan Gideon sekalipun cuma jasadnya.

Apalagi kebaktian penutupan peti jenazah akan segeras dimulai, Linda pun berdiri kaku dan membisu di antara orang-orang dewasa yang tidak dikenalnya.

Ah, sepertinya tidak ada kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan padanya.

Nyanyi-nyanyian kidung jemaat membuat angannya melayang, membayangkan tubuh Gideon terbujur kaku di dalam sebuah kotak kayu. Gideon adalah cowok yang selama ini sangat diinginkannya. Kalau tidak bisa jadi pacar, berteman saja sudah cukup buat Linda. Tapi sekarang, dia malah pergi untuk selama-lamanya. Tanpa pesan pula. Isak tangis di antara nyanyian kidung jemaat membuat hati Linda serasa diiris-iris. Ngilu sekali rasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun