Mohon tunggu...
rosa indithohiroh
rosa indithohiroh Mohon Tunggu... Human Resources - Meneliti Kehidupan.

Kehidupan adalah babak tempur elektabilitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehidupan Fana

4 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 4 Juni 2019   11:29 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hasil buah pikir "Falsafah Hidup" Prof. Dr. Hamka.

Sebuah kisah dari seorang penggembala cilik yang ingin menentukan jalan tempuh kehidupan. Rute ia mulai dari memahami tentang  keberadaannya dalam dunia ini. Ya, benar sekali jikalau ia gemar ber-philosophi. Namun anehnya kebanyakan orang menghempaskan pandangannya jauh-jauh terhadap hal itu. Padahal, itu adalah suatu keniscayaan yang perlu kita ketahui. Karena pada dasarnya kita dianugerahkan akal untuk berpikir. Tidaklah pas rasanya jikalau kita mampu berpikir mengenai pelajaran sekolah, jika kita tidak paham mengenai benihnya, yaitu FILSAFAT. Mengapa saya berani menutur katakan seperti tu? Karena memang kepastian yang nyata bahwasanya ilmu yang beragam kini hadir adalah dari buah fikir Ilmu Filsafat itu sendiri. Sangatlah munafik rasanya jikalau kita menghempaskan jauh-jauh hal tersebut dari pemikiran. Baiklah, ini adalah kisah pertama sang pengembala tersebut. Dimulai dari ia memahami keadaannya. Ia mengambil sebuah analogi untuk dunia saat kini.

"Kehidupan itu layaknya tenunan. Tentunya dirangkai oleh benang-benang yang berpadu kian utuh." Karena pada dasarnya dalam kehidupan adanya kolaborasi antara alam semesta, manusia, hewan, dll. Namun sayangnya manusia itu bukan tenunan tersebut. Bukan pula sang benang manja yang berpadu. Tapi, manusia adalah sebuah serat yang menggrogoti sang benang. Ya sangatlah kecil. Karena kenapa, jikalau kita melihat alam semesta ini secara keseluruhan, apakah nampak jelas oleh indra seorang manusia? Tentu saja jawabannya tidak. Namun, manusia berperan sangat besar dalam kehidupannya ini, karena ia dianugerahkan akal. Saya katakan dengan seribu sayangnya akal tersebut dianugerahkan kepada manusia. Karena kenapa, itu membuat ia tidak sadar akan dirinya yang kecil tersebut. Terbutakan dengan segala kehandalannya. Membombardirkan alam semau yang ia inginkan. Menggrogoti segala yang nampak, baik itu yang manis, bahkan yang pahitpun ia grogoti. Alangkah tamaknya ia. Sehingga ia tidak sadar kelak ia akan habis tertelan oleh hal yang lebih besar darinya. Entah itu oleh benangnya atau mungkin yang lebih besar, yaitu tenunan itu sendiri, atau bahkan oleh tangan yang membuat tenunan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun