Saya tidak tahu negara mana lagi yang penduduknya, terutama anak-anak mudanya, begitu gigih menginginkan dan memperjuangkan nikah muda selain Indonesia. Bahkan, di media sosial seperti Instagram muncul akun dengan nama @gerakannikahmuda dengan jumlah followers sekitar 18.000.
Pernikahan anak ustad Arifin Ilham, Muhammad Alvin Faiz, yang masih berusia 17 tahun yang digelar baru-baru ini pun dijadikan alat untuk menjustifikasi bahwa berumah tangga di usia muda adalah hal yang berani dan membanggakan. Mungkin lebih membanggakan dari memenangkan emas olimpiade. No, Sir! Anda melanggar Undang-undang tentang Pernikahan!
Dia bahkan sampai secara khusus menulis buku Udah Putusin Aja yang meski kemasannya sangat eye-catching, tapi sayangnya isinya mudah ditebak: putuskan pacarmu kalau dia tidak segera melamarmu. Ustad Felix juga mengadakan tur serta seminar berbayar untuk menyebarkan paham yang dianutnya tentang nikah muda.
Melihat dari media sosial mereka, baik peminat buku Udah Putusin Aja dan Indonesia Tanpa Pacaran maupun seminar-seminar mereka juga terbilang cukup banyak. Para “aktivis” nikah muda ini memang gencar membombardir followers mereka dengan dalil-dalil seperti pacaran adalah zina dan zina adalah dosa besar. Kesimpulannya: menikahlah untuk menghindari zina.
Pertama, yang selalu ditekankan oleh para “aktivis nikah muda atau dosa” adalah pacaran itu zina. Artinya, bagi mereka, setiap pria punya syahwat yang tidak bisa dikontrol dengan apapun. Isi otak pria adalah tentang bagaimana memuaskan isi celana dalam mereka. Kita harus akui, sentuhan fisik adalah salah satu kebutuhan biologis setiap manusia. Namun, menganggap semua pria tidak mampu mengendalikan nafsunya – layaknya binatang – adalah sebuah penghinaan bagi pria itu sendiri.
Banyak pria yang mengejar pendidikan dan karirnya sembari pacaran bukan karena ingin menikmati tubuh pacarnya. Mereka berpacaran karena di dunia yang normal pacaran adalah hal yang wajar untuk mengetahui apakah seseorang bisa diajak kerjasama dalam kerumitan seperti kehidupan rumah tangga. Tidak perlu jadi Albert Einstein untuk memahami ini.
Kedua, secara tidak langsung para wanita dianggap makhluk lemah yang tidak bisa melindungi diri sendiri. Ini adalah narasi yang terus-menerus disebarluaskan secara sistematis. Wanita yang begitu lemah harus dihadapkan pada buasnya syahwat pria.
Ibarat barang, wanita adalah barang mudah pecah. Para pria sebagai pembeli bisa saja memecahkan barang tersebut tanpa membelinya. Logika ini menyejajarkan wanita dengan barang yang diam di satu tempat, menunggu pembeli. Sedangkan pria punya uang dan pilihan untuk memecahkan tanpa membeli atau membeli barang tersebut lebih dulu kemudian bebas mau diapakan.