Sepak bola bukan melulu soal siapa pemenang derby Manchester, transfer termahal, atau duel sengit antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi untuk menjadi pemain terbaik dunia. Sepak bola punya sisi lain yang memang tidak glamor, tapi justru mampu memberi makna lebih pada olahraga ini – lebih mahal dari nilai klub terkaya dunia, Guangzhou Evergrande – yakni, solidaritas.
Salah satu yang paling menarik perhatian belakangan ini adalah aksi solidaritas yang dilakukan lebih dari 100 anggota Green Brigade, pendukung ultras kesebelasan Celtic (Liga Skotlandia), yang mengibarkan bendera Palestina saat laga kualifikasi Liga Champions melawan tim asal Israel, Hapoel Be’er Shava, pada 17 Agustus 2016 lalu di Glasgow.
Aksi ini langsung mendapat teguran dari UEFA dan badan sepak bola Eropa tersebut memutuskan untuk mendenda klub dengan jumlah yang baru akan diketahui setelah sidang pada 22 September mendatang. UEFA memang punya peraturan yang melarang adanya pesan-pesan politik selama pertandingan.
Ini bukan kali pertama Celtic menantang UEFA demi rasa solidaritas. Celtic Park, kandang Celtic, sudah akrab dengan bendera Palestina dan Basque di sejumlah pertandingan sejak tahun 1980an. Memang hal ini wajar mengingat sejarah Celtic sebagai klub yang lahir dari komunitas pengungsi Katolik Irlandia yang tertindas di Glasgow pada abad 20. Seiring waktu, Celtic dan Green Brigade kerap mengasosiasikan diri dengan isu-isu sayap kiri.
Rupanya tidak hanya Green Brigade, Pasoepati yang merupakan pendukung loyal Persis Solo juga tergerak untuk menunjukkan solidaritas mereka terhadap rakyat Palestina. Pada saat pertandingan uji coba timnas Indonesia kontra Malaysia di stadion Manahan Solo kemarin, ribuan Pasoepati memperlihatkan koreografi bertuliskan “GARUDA” yang kemudian berganti gambar bendera Palestina.
Ginda menjelaskan aksi tersebut bukanlah aksi politik, melainkan bentuk solidaritas dan fair play yang seharusnya ada di sepak bola. Tidak seperti Celtic, memang tidak ada kabar bahwa timnas atau Pasoepati akan didenda oleh pihak manapun, tetapi koreografi tersebut cukup menguras tenaga dan uang. Sejak pukul enam pagi mereka harus bersiap-siap di stadion. Belum lagi usaha untuk mengkoordinasi mereka yang merupakan penonton umum di tribun itu. Koreografi ini juga memakan dana 9 juta rupiah yang diperoleh dari sumbangan sukarela anggota Pasoepati.
Aksi tersebut pun mendapat perhatian dari akun @FutbolPalestine :
Isu pengungsi yang dipolitisasi oleh berbagai pihak, termasuk di benua Eropa, juga tidak luput dari perhatian para pendukung sepak bola. Para pengungsi yang harus melarikan diri dari ISIS maupun kemiskinan akibat invasi pasukan koalisi Amerika Serikat di Irak, Afghanistan, maupun Libya dan bersusah payah menuju Eropa dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik justru memperoleh diskriminasi, mulai dari dianggap hanya akan mengambil keuntungan dari pemerintah Eropa hingga mendapat tuduhan sebagai teroris.
Untuk isu ini, pemain, pelatih, dan officials dari AEL Larissa dan Acharnaikos (klub Liga Yunani) melakukan protes terhadap perlakuan yang diterima para pengungsi dengan duduk di lapangan selama dua menit sebelum pertandingan dimulai pada 30 Januari 2016 lalu. Mereka juga mengaku aksi ini sebagai bentuk keprihatinan atas begitu banyaknya pengungsi yang meninggal di Laut Aegea.