Layaknya memasak suatu masakan, sebelumnya kita harus tahu dulu bahan-bahan yang dibutuhkan dan bagaimana cara memasaknya agar rasanya lezat. Langkah yang sama juga diperlukan ketika kita ingin menyajikan budaya toleransi beragama di masyarakat supaya tumbuh subur dan tercipta kedamaian.
Tidak semua orang bisa memasak dengan cara otodidak. Seringkali kita harus meminta bimbingan kepada orang yang kita anggap ahli. Ini juga berlaku pada pemahaman kita terhadap toleransi beragama. Salah satu cara membentuk pola pikir adalah dengan belajar dari para tokoh agama seperti ustad, pastur atau pendeta. Peran mereka sangat besar.
Sayangnya, kita membiarkan mereka bebas menginterpretasikan agama tanpa dimintai pertanggungjawaban. Dulu, kita harus pergi ke gereja, masjid, maupun pusat kegiatan keagamaan untuk mendengar ceramah. Kini, ide dan pendapat mereka berkeliaran bebas berkat internet. Konsekuensinya, baik informasi bernada kebencian maupun perdamaian dengan mudah dijangkau banyak orang.
Memahami Arti Toleransi Beragama
Kita mau memasak toleransi beragama? Maka kita harus memahami apa itu toleransi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleran (kata sifat) berarti memiliki sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sementara toleransi adalah bentuk kata bendanya.
Jadi, bila memakai definisi di atas, bahan pertama yang diperlukan adalah pemahaman bahwa sejak lahirnya peradaban terdapat banyak pandangan dan kepercayaan yang berbeda. Sedangkan bahan kedua adalah respek terhadap perbedaan tersebut. Disinilah bagian yang menurut saya sangat tricky dan memerlukan kebijaksanaan dalam mengartikan toleransi.
Bagi penyuka masakan gulai fundamentalis, hanya kambing, sapi dan ayam lah yang paling tepat menjadi bahan utama. Lalu, muncul kaum vegetarian yang mengganti daging dengan tahu dan berkeyakinan bahwa tahu lebih sehat dan ramah lingkungan. Jika kedua kelompok saling toleran, mereka tetap bisa menyantap gulai kesukaan masing-masing, perut kenyang, dan semua senang.
Perdebatan muncul saat, misalnya, kaum vegetarian pecinta binatang melihat penyuka gulai fundamentalis yang memiliki kambing, sapi dan ayam memperlakukan ketiganya dengan sangat buruk. Apakah mereka akan membiarkan saja sebab takut dikatakan tidak toleran?
Begitu pula waktu menyaksikan anak-anak kecil diajari menembak dengan alasan jihad yang diperintahkan oleh kitab suci. Apakah toleran berarti kita mengabaikan kejadian semacam itu? Belum lagi bila ada ajaran-ajaran tertentu yang dengan sengaja menumbuhkan kebencian dan kekerasan terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, bahan-bahan dasar untuk toleransi beragama wajib dimasak dengan sangat hati-hati, bagai memasak daging agar tidak amis.
Relevansi Tokoh Agama Dalam Penyebaran Toleransi Beragama di Internet
Dalam survei Pew Research Center (sebuah lembaga survei nonprofit terkemuka dunia), di tahun 2015 Indonesia menempati peringkat ke-3 sebagai negara dimana masyarakatnya menganggap agama itu sangat integral dalam kehidupan sehari-hari  – bersaing dengan Ethiopia dan Senegal: