“Gafatar adalah organisasi berbahaya yang menyebarkan paham radikal dan harus diberantas”. “Pengikut-pengikut Gafatar ingin memecah persatuan dan kesatuan NKRI untuk membentuk negara sendiri”. “Gafatar melakukan penistaan terhadap agama (Islam)”.
Beberapa minggu terakhir pernyataan-pernyataan ini yang kerap kita temui di media massa. Tidak hanya dilontarkan oleh pihak kepolisian, namun juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan negara sempat menunggu fatwa MUI untuk menentukan apakah Gafatar memang melakukan penistaan agama. MUI beserta Pemerintah Republik Indonesia pun mengungkapkan akan segera melakukan program rehabilitasi untuk mengembalikan mantan anggota Gafatar ke “jalan yang benar”. Apakah semua klaim tersebut valid?
Pertama, benarkah Gafatar menyebarkan radikalisme? Mungkin kita perlu menengok arti dari radikal dan radikalisasi terlebih dulu. Istilah radikal muncul pada abad 18 dan sering dikaitkan dengan revolusi Perancis dan Amerika. Pada abad 19 istilah ini semakin populer digunakan untuk merujuk pada agenda politik yang menuntut reformasi sosial dan politik. Semakin berkembangnya jaman banyak pihak mengasosiasikan radikal dengan tindakan mendukung gerakan ekstrem (misalnya ideologi politik maupun agama). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikal berarti: (1) amat keras menuntut perubahan (misalnya undang-undang atau pemerintahan); (2) maju dalam berpikir atau bertindak.
Definisi-definisi di atas menunjukkan istilah radikal bersifat relatif. Suatu paham radikal tidak selalu buruk. Bisa jadi ia dikatakan radikal oleh golongan mainstream yang tidak merestui adanya golongan progresif yang menuntut status quo segera diakhiri. Sedangkan dalam research paper Dr. Alex P. Schmidt yang dipublikasikan oleh International Centre for Counter-Terrorism The Hague di tahun 2013 disebutkan tidak ada satu konsensus mengenai definisi radikalisasi, melainkan beberapa. Untuk memudahkan mari kita gunakan kategori, yakni, apa saja yang bisa dikategorikan sebagai radikalisasi. Radikalisasi menggunakan kekerasan fisik yang secara gradual semakin tereskalasi baik dari segi bentuk tindakan maupun intensitasnya. Dalam prosesnya terjadi perubahan keyakinan, pikiran dan tingkah laku.
Sekarang, apa yang kita ketahui tentang Gafatar? Jika dikatakan Gafatar adalah organisasi radikal dalam pengertian menuntut perubahan, baik konstitusi maupun pemerintahan, mantan petinggi dan anggota Gafatar menyatakan hal tersebut tidak benar. Sesuai dengan yang dimuat Kompas, Gafatar sebagai sebuah organisasi dinyatakan bubar pada Agustus 2015. Adapun mereka mantan anggota Gafatar hanya ingin bertani karena meyakini krisis pangan akan terjadi (faktanya krisis pangan memang terjadi, sesuai dengan penelitian LIPI). Setidaknya mereka berpikiran maju dibandingkan yang lain karena mengantisipasi krisis pangan.
Bagaimana dengan radikal dalam konteks agama? Jujur saya tidak ingin terlalu jauh membahas bagian ini karena cukup sensitif. Tetapi, saya yakin agama adalah urusan personal yang tidak boleh dicampuri siapapun selama tidak menganggu ketertiban umum. Konstitusi kita menjamin kebebasan beragama. Namun, sayangnya, yang dimaksud agama disini adalah agama mainstream yang diakui oleh negara. Golongan mayoritas yang berhak menentukan keyakinan mana yang boleh dianut dan tidak. Standar ganda? Tentu. Lalu, apakah Gafatar melakukan radikalisasi? Sejauh yang kita ketahui tidak pernah ada laporan tindakan kekerasan yang terjadi. Laporan kehilangan orang pun perlu ditelusuri apakah: a) mereka dihilangkan secara paksa; atau b) tidak ada kaitan sama sekali dengan Gafatar.
Setidaknya dari sini akal sehat kita bisa berpikir bahwa terlalu banyak distorsi seputar kasus Gafatar ini baik oleh pihak berwenang maupun media massa. Keinginan Kementerian Agama dan MUI untuk memfasilitasi mantan anggota Gafatar ke madrasah tentu sangat disayangkan. Bukan mereka yang tersesat, tapi kita. Kita anggota golongan mainstream yang berjumlah besar dan paranoid terhadap sesuatu yang kita tidak pahami sebab kita takut sesuatu itu akan merusak tatanan yang ada (tatanan dimana kita, kaum mayoritas, sebagai lakon utama berkuasa). Trauma yang mereka rasakan bukan disebabkan keyakinan baru mereka, melainkan karena pikiran sempit dan paranoia kita yang menunjuk-nunjuk mereka sebagai pengkhianat bangsa dan penista agama. Menuduh suatu pihak sebagai pihak radikal itu mudah. Membuktikannya secara obyektif, proporsional, tanpa dibayangi paranoia...itu yang sulit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H