Aku selalu percaya pada feminisme. Sebuah cara pandang yang mengajarkanku untuk memandang perempuan lain sebagai kawan, bukan lawan; sebagai sekutu dalam melawan ketidakadilan, bukan musuh yang harus ditundukkan. Namun, ketika aku mendapati diriku diselingkuhi, keyakinan itu tiba-tiba terasa goyah. Â
Ia ada di sana, perempuan itu. Dalam imajinasiku, ia hadir dengan segala bentuk yang aku bayangkan, lebih cantik, lebih muda, atau mungkin lebih berani. Aku ingin marah padanya. Aku ingin menyalahkan sosok yang menurut pikiranku menjadi alasan mengapa ia, lelaki yang pernah aku cintai, berpaling dariku. Tapi di saat yang sama, ada suara dalam hatiku yang menahan amarah itu. Â
Alam bawah sadar memintaku untuk berpikir lebih dalam. Apakah benar ini tentang dia? Apakah aku harus melimpahkan seluruh kesalahan pada perempuan lain? Atau, mungkinkah ini tentang struktur yang lebih besar, yang mengizinkan laki-laki melanggar komitmen dan menempatkan perempuan dalam posisi saling beradu? Â
Aku mulai melihat diriku bukan hanya sebagai korban dari sebuah pengkhianatan, tetapi juga dari sistem yang mengatur cara kita mencintai, berkomitmen, dan bersaing. Patriarki, dalam bentuk yang paling halus, seringkali membuat perempuan memandang perempuan lain sebagai ancaman. Kita dibesarkan dalam budaya yang diam-diam menanamkan gagasan bahwa cinta laki-laki adalah piala, dan perempuan lain adalah musuh yang akan merebutnya. Â
Tapi apakah aku benar-benar marah pada perempuan itu? Atau sebenarnya aku hanya melampiaskan rasa sakitku karena merasa tak cukup baik di mata seseorang yang kupercayai? Â
Dalam kebingungan ini, aku mencoba memahami. Ia, perempuan itu, bukan musuhku. Ia mungkin juga korban dari janji-janji kosong, dari cinta yang egois, dari ilusi kebahagiaan yang sama palsunya dengan apa yang aku alami. Marah padanya tidak akan mengembalikan apa yang hilang rasa percaya, harga diriku, dan kepercayaan pada hubungan. Â
Alam bawah sadarku mengajarkan bahwa ini bukan tentang "dia vs aku." Ini tentang melihat lebih jauh ke akar persoalan. Tentang laki-laki yang tidak memegang komitmen. Tentang sistem yang terus-menerus membuat perempuan saling berperang untuk validasi laki-laki. Â
Jadi, aku memutuskan untuk tidak marah padanya. Marah pada perempuan itu hanya akan melanggengkan pola yang selama ini ingin aku lawan. Sebaliknya, aku memilih untuk memperbaiki diriku, untuk kembali pada inti dari pengetahuan feminis-ku : bahwa aku berharga, tidak peduli bagaimana orang lain memperlakukan atau mempermainkanku. Dan bahwa perempuan lain, meskipun ia terlibat dalam kisah ini, bukanlah musuhku. Â
Aku masih mempertanyakan banyak hal tentang ideologi feminisku, tapi ada satu hal yang kini aku yakini: marah pada perempuan lain hanya akan memperdalam luka. Marah pada sistem yang memungkinkan pengkhianatan dan manipulasi, itulah yang sebenarnya perlu aku lakukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI