Pernahkah Anda mendengar kalimat-kalimat seperti ini?
“Kamu ini kerja yang bener, dong! Salah lagi, salah lagi.”
“Apa urusanmu? Hidup, hidup saya. Suka-suka saya.”
“Aduh, saya gak mau. Jangan saya, deh.”
Sadar atau tidak sadar, kata-kata ini kerap kita dengar atau kita ucapkan. Kalau kita cermati, pemilihan kata oleh masyarakat sekarang cenderung menurun kesantunannya. Tentunya tidak bisa disamakan di setiap tempat di Indonesia, karena setiap manusia memiliki budaya hidupnya masing-masing. Namun, hal ini akan sangat tampak pada ungkapan-ungkapan kita dalam menyatakan pendapat dan perasaan kita, seperti ketika kita menulis artikel, mengikuti rapat, bahkan ketika membuat status di social media yang tanpa sengaja malah mengundang provokasi.
Hati-hati, pembaca.
Seperti yang pepatah katakan: kata-kata yang salah bisa diampuni, tapi tidak dilupakan. Kata-kata yang sarkastis dan menyerang tentu saja sangat menyinggung.
Fenomena menurunnya penggunaan bahasa santun dalam pergaulan sehari-hari berbanding lurus dengan penurunan standar moral, agama, dan tata nilai yang berlaku. Apa saja faktor yang menyebabkan perubahan nilai kesantunan?
Pertama, faktor waktu. Sebagai contoh, kesantunan pada masa kerajaan dan kolonial berbeda dengan kesantunan pada masa kemerdekaan dan masa kini. Kedua, faktor tempat. Misalnya, nilai kesantunan di rumah pasti berbeda dengan di kantor. Ketiga, pergaulan global. Pertukaran informasi membawa pergeseran budaya dan membuat orang lebih ingin mengikuti bahasa yang sedang menjadi tren.
Berbahasa santun seharusnya sudah menjadi suatu tradisi yang dimiliki oleh setiap orang sejak kecil. Anak perlu dibina dan dididik bahasa santun. Jangan sampai anak merasa bahasa santun tidaklah “gaul”. Bahasa santun yang awalnya luwes dan indah, karena jarang digunakan berubah menjadi sekaku batu dan menimbulkan suasana canggung.
Cara menanamkan kesantunan ini sebaiknya bertolak dari prinsip mengerti, merasakan, dan melaksanakan. Artinya, orang dewasa harus memberi tahu, memberi contoh, dan mengarahkan anak-anak.