Di balik gemerlapnya kota Bandung dan kehidupan sehari-hari yang penuh hiruk-pikuk, terdapat kisah hidup seorang pemulung bernama Mas Kumis yang tak terlupakan. Merantau seorang diri jauh dari Sukabumi ke Bandung, ia dipisahkan dari keluarga karena dipaksa oleh keadaan yang ada.Â
Kehidupan ini bermula dari istrinya yang bernama Yanti yang menderita kanker. Istrinya menderita penyakit pada 3 tahun lalu. Ibu Yanti yang telat diagnosis ini sempat dirawat di rumah sakit. Pada saat itu ekonomi Mas Kumis dikuras habis-habisan untuk biaya perawatan dan pengobatan. Pak Kumis banyak sekali pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rawat inap rumah sakit. Kanker usus yang memakan bagian organ dalam ini pun berhasil menghasilkan duka yang dalam bagi Mas Kumis dan keluarga.
Ketika Mas Kumis harus menghadapi kenyataan bahwa istrinya meninggal dunia, beban hidupnya menjadi semakin berat. Kesedihan mendalam menghampirinya, tetapi tanggung jawab sebagai kepala keluarga tidak memberinya kesempatan untuk tenggelam dalam kesedihan. Ia harus terus bekerja, mencari rezeki untuk menyambung hidup dan memberikan masa depan bagi anak-anaknya. Anak-anak yang kecil ini pun masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu, tapi apa daya ibunya telah pergi lebih dulu meninggalkan mereka.
Singkat cerita Mas Kumis ini mencari pekerjaan baru karena terkena PHK pada pekerjaan sebelumnya. Namun di zaman seperti ini untuk masuk perusahaan seperti pabrik pun tidak mudah, alias membutuhkan biaya awal atau biaya masuk melalui calo.Â
Suatu saat ia mendaftar ke pabrik industri tekstil melalui calo dengan nominal yang cukup besar, tapi siapa sangka ia terkena tipu yang membuat ia tidak jadi bekerja di perusahaan tersebut. Tabungan yang habis sekejap itu tidak membuat Mas Kumis menyerah, melainkan ia lanjut mencari pekerjaan hingga merantau.
Mas Kumis meninggalkan Sukabumi untuk mencari kehidupan yang lebih baik di ibukota. Penuh harapan, ia terjun ke kota yang bisa memberikan masa depan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun, realitasnya jauh dari harapan, hingga akhirnya ia terkena tipu yang kedua kali dan berujung menjadi pemulung yang mengumpulkan barang-barang bekas dan menukarnya dengan uang. Hingga saat ini ia menetap menjadi seorang pemulung untuk menghidupi keluarganya di kampung
Kini Mas Kumis tinggal di Bandung yang beralamatkan Jl. Dago Elos, Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat lebih tepatnya di Terminal Dago. Disana ia hidup dengan komunitas pemulung lainnya yang sama-sama mengumpulkan barang bekas.
Menjalani kehidupan sebagai pengumpul barang bekas tidaklah semudah itu karena banyak persaingan antar pemulung lain. Mas Kumis mengumpulkan barang bekas seperti botol atau gelas plastik dan kardus-kardus, lalu ditukarkan dengan uang yang sepadan dengan berat karung yang ia kumpulkan. Terkadang beratnya yang lumayan tetapi tidak menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupi ia dan keempat anaknya. Hasil ini biasa ia gunakan untuk makan sehari-hari dan disisihkan untuk tabungan yang biasa dikirim pada keluarganya di Sukabumi.
Barang yang dikumpulkan biasanya ditukar dengan uang kepada pengepul barang bekas tak jarang juga menjual ke pabrik daur ulang daerah Dago Kecamatan Coblong. Penghasilan yang tidak menentu membuat ia harus terus bekerja keras dari pukul 06.00 pagi hingga malam pukul 20.00. Rute yang sering dilewatinya yakni Jl. Merdeka hingga Dago Atas. Tidak menetap berapa penghasilan sehari-harinya, namun dapat dikatakan sehari hanya menghasilkan Rp 50.000. Cukup apa dengan nominal sebesar itu di zaman ini?
Penghasilannya yang habis dipakai membiayai seorang diri ini membuat semangat dalam hidupnya bahwa ada keluargnya yang harus ia nafkahi nan jauh di Sukabumi. Kehidupannya dipenuhi dengan deretan kesedihan yang mendalam, terutama setelah kepergian istrinya yang menyisakan tanggung jawab menafkahi empat orang anak. Setiap langkah yang diambilnya adalah usaha untuk menyediakan sejumput nasi dan secuil harapan bagi buah hatinya yang setia menanti di rumah.
Setiap langkah Mas Kumis dalam merantau dan menjadi pemulung adalah bukti perjuangan tak kenal lelah. Namun, di balik ketegaran dan ketabahan yang ditunjukkannya, terdapat lapisan kesedihan yang sulit diukur. Merawat anak-anak tanpa sosok pendamping hidup adalah ujian berat yang harus dihadapinya setiap hari.
Kisah Mas Kumis adalah cerminan dari berbagai penderitaan dan kehidupan sulit yang dihadapi oleh pemulung di luar sana. Ini membangkitkan pertanyaan tentang keadilan sosial dan perlunya dukungan dari masyarakat. Mas Kumis, seperti banyak pemulung lainnya, adalah pahlawan tak dikenal yang berjuang di balik layar, menjalani hidupnya dengan penuh keterbatasan dan kesedihan.
Semoga kisah hidup Mas Kumis dan pemulung lainnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap sesama, memberikan dukungan, dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Sebab, di balik setiap kehidupan yang penuh kesedihan, masih ada harapan dan kekuatan untuk melangkah maju.