Mohon tunggu...
Ignatius Sunandar
Ignatius Sunandar Mohon Tunggu... -

Lahir di antara bukit-bukit dan sungai-sungai Pegunungan Menoreh. Sedang belajar berbagi harapan akan masa depan yang lebih baik dengan saudara-saudara di sekitar perkebunan sawit, Muara Wahau - Kutai Timur....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku dari Planet Mars

2 Desember 2011   15:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:55 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bulan Desember bagi saya merupakan bulan yang cukup istimewa. Bukan karena ada Hari Raya Natal dan bukan pula karena ada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa yang bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Itu istimewa karena ada Pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yusuf yang mengingatkan saya pada peristiwa di bulan Desember, 13 tahun yang lalu saat saya berulang tahun yang ke-30. Saat itu adalah saat saya ada di persimpangan jalan hidup, mau hidup berkeluarga atau hidup sebagai imam. Dua duanya merupakan jalan hidup yang mulia yang dikukuhkan dengan sakramen suci.

Apa yang saya pikirkan dan bayangkan tentang keluarga saat itu dan yang saya alami selama ini sebagai seorang suami sungguh sangat berbeda. Membangun keluarga adalah suatu proses tanpa henti untuk menyatukan dua jenis manusia, pria dan wanita yang secara alamiah diciptakan berbeda secara fisik dan psikologis. Yang sungguh luar biasa nyata dan indah adalah karena Tuhan mempersatukan dua dunia manusia yang berbeda itu untuk saling melengkapi. Manusia pria dipersatukan dengan manusia wanita. Keduanya sama-sama citra Allah. Akan tetapi bila dicermati secara mendalam, keduanya ibarat yang satu dari planet Mars dan yang satunya dari planet Venus karena begitu besarnya perbedaan antara pria dan wanita.

John Gray, Ph.D dalam bukunya ‘Mars and Venus Together Forever’ menguraikan keterampilan-keterampilan berhubungan antara pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan untuk membina cinta abadi. Pria dan wanita diajak memahami perbedaan cara berpikir dan cara merasa antara keduanya. Dengan saling memahami perbedaan alami itu kecenderungan untuk mencoba mengubah pasangan akan lebih terkendali pada saat masing-masing tidak mendapatkan apa yang dikehendaki dari pasangan. Lalu kita diajak melihat apa yang paling dibutuhkan wanita dan apa yang sungguh diinginkan pria. Selanjutnya, dibicarakan tentang keterampilan-keterampilan pria untuk mendengarkan tanpa menjadi marah dan keterampilan-keterampilan wanita untuk berbicara sehingga pria bersedia mendengarkan.

Seorang pria beradaptasi dengan perannya dan menghadapi perasaan-perasaan takut, marah, dan kehilangan yang hebat dengan menyelesaikan masalahnya secara diam-diam. Sedangkan kaum wanita mengatasi perasaan dan menyelesaikan masalah terutama dengan jalan berbicara dan berbagi rasa dengan orang-orang lain dalam keluarga dan lingkungannya. Seorang pria harus memikirkan perasaan-perasaannya sebelum dia membicarakannya, sedangkan seorang wanita dapat merasa, berbicara, dan berpikir semuanya pada waktu yang sama. Perbedaan ini jika tidak dipahami akan menimbulkan konflik yang tidak perlu. Ketika si pria diam berpikir si wanita cenderung mendesaknya untuk berbicara. Semakin didesak untuk bicara semakin dia akan diam. Ketika si pria diam si wanita merasa tidak diperhatikan dan merasa tidak dicintai. Sedangkan wanita merasa bahwa jika ada masalah harus dibicarakan karena dengan membicarakan itu dia merasa masalah akan terselesaikan. Di sini dibutuhkan ketrampilan si pria untuk mendengarkan si wanita dan ketrampilan si wanita untuk mengungkapkan perasaannya tanpa membuat si pria merasa bersalah.

Saya mencoba untuk mempraktekkan hal itu dengan mendengarkan istri saya ketika dia sedang marah dan tidak ikut marah karena dia marah. Mempersiapkan diri untuk tidak merasa terlukai oleh kata-kata istri yang sedang marah juga perlu latihan dan kesabaran. Saya mengalami apa yang dikatakan John Gray bahwa kalau seorang wanita merasa cukup aman untuk menyampaikan perasaan-perasaannya kepada pria yang dikasihinya dan pria tersebut dapat mendengarkan tanpa tersinggung, maka hubungan mereka akan berkembang subur. Dia juga mengatakan bahwa, selama suatu pembicaraan emosional, seorang pria harus waspada dan siap memberikan gerak-gerik sederhananya yang bersifat mendukung, seperti menganggukkan kepalanya tanda setuju, memeluknya, atau membuat suara-suara yang simpatik.

Tentu saja masih ada seribu satu hal lain yang berbeda antara pria dan wanita. Dalam keterbedaan itulah pria dan wanita dipersatukan dan menjadi satu dalam sakramen perkawinan. Kemampuan untuk saling memahami dan menerima perbedaan itu akan memungkinkan masing-masing pasangan dapat mengasah ketrampilan-ketrampilan baik fisik maupun emosional untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam semua problem kehidupan yang dihadapi sebagai pasangan. Salah satu cara yang dapat memperkuat ikatan itu adalah dengan selalu bersyukur diberi pasangan pria ini atau wanita itu. Dalam segala perbedeaan, kekurangan dan kelemahan Tuhan mempersatukan pria dan wanita untuk saling melengkapi dan mencapai tujuan hidupnya. Pria tetap dari Mars dan wanita tetap dari Venus. Keduanya menjadi satu untuk suatu tujuan : Ad Maiorem Dei Gloriam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun