Mohon tunggu...
Puji Plolong
Puji Plolong Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Freelance

Daydreamer

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Bola Salju Isu Kampanye Poligami PSI

15 Januari 2019   08:28 Diperbarui: 15 Januari 2019   08:56 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan rahasia lagi kalau di negara-negara Asia, budaya paternal memang masih mengakar kuat dalam tatanan sosial sehari-hari. Bukan berarti bahwa di era modern budaya ini tidak ada di dunia barat. Kultur seperti ini juga ada di sana, hanya saja mereka sadar bahwa fenomena tersebut memang tidak sehat dan sedapat mungkin berupaya keras untuk menekannya se-eliminir mungkin.

Dampak budaya paternal yang paling terasa memang punya impact besar terhadap pembedaan gender dan khususnya bagaimana masyarakat memandang kaum wanita. Seperti contoh kasus yang pernah diungkapkan oleh aktris Geena Davis, keynote speaker gerakan  ArcLight's Women in Entertainment, bagaimana peluang karier perempuan di industri perfileman Hollywood amatlah terbatas dan ada gap yang signifikan antara pendapatan aktor dan aktris. Belum lagi perlakuan kru film yang mencolok antara pekerja sinema wanita dan laki-laki.

Di Asia, khususnya di Indonesia, budaya paternal - kultur yang memposisikan kaum adam sebagai tolak ukur sosial - memang masih amat mendominasi. Diakui atau tidak, realitanya memang kesetaraan gender adalah fakta jauh panggang dari api. Isu tentang poligami juga tidak luput adalah substansi yang melekat erat sebagai dampak budaya paternalistik. 

Jadi memang agak konyol rasanya kalau ada yang menggiring substansi ini melebar memasuki ranah agama, apalagi mengkait-kaitkan dengan isu LGBT dan perzinahan. Ibarat orang mempertanyakan satu point yang signifikan, justru menyalahkan dengan point lain yang tidak relevan. Analoginya seperti contoh ketika polisi menilang pelanggar lalin menerobos
lampu merah, si pelanggar malah menyalahkan polisi kenapa nggak menilang saja pelanggar lain yang melanggar verboden. Inilah yang dinamakan dengan "logical fallacy".

Dan kekonyolan fallacy ini justru makin parah, ketika stakeholder keagamaan bersikap semakin defensif dengan mengkait-kaitkan isu poligami dengan kadar religious belief seseorang dengan menganggap bahwa kurang kadar keimanannya.

Satu yang harus kita pahami bersama, bahwa poligami adalah isu sosial dan wanita adalah victim, titik. Kalau mau jujur berpikir sebaliknya, memangnya ada kaum lelaki yang ikhlas dipoliandri sama wanita? Yang namanya kesataraan pasti berlakunya dua arah, bukan searah, apalagi semaunya sendiri.

Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, tentu juga telah berhitung bahwa substansi tentang poligami adalah isu krusial kalau tidak mau dibilang super seksi. Demografi dari sensus tahun 2010 berdasarkan sex ratio antara penduduk wanita dan pria di Indonesia bisa dibilang fifty-fifty. Bisa dibilang perimbangan gender ini adalah target voter yang potensial apabila PSI mampu menarik simpati kaum hawa. Jadi bisa dipahami kalau "stakeholder" bersikap makin defensif dan makin represif, bola salju tentu menggelinding makin besar dan menjadi keuntungan tersendiri bagi PSI. 

Masyarakat kita yang masih gampang bersimpati dengan korban-korban yang teraniaya tentu akan makin bereaksi. Bukan tidak mungkin kalau di pemilu 2019 ini perolehan PSI menjadi signifikan, justru akan menjadi preseden di pemilu-pemilu selanjutnya isu-isu tentang gender akan makin bergaung kencang. Di atas permukaan dan represi sosial mungkin kaum wanita segan untuk mengaktualisasikan aspirasinya, tapi di balik bilik suara siapa yang tahu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun